Sabtu, 12 September 2009

muslimkah anda???

Kembali kepada
Fitrohnya Manusia










Mari kita kembali pada fitroh manusia dengan merenungkan dari mana kita berasal, dari apa kita diciptakan, serta hendak ke mana dan apa tugas kita sebagai manusia. Tanpa kembali merenungkan fitroh kita sebagai manusia, kita akan melupakan tugas dan kewajiban kita sebagai manusia.

Mari kita simak ayat berikut. (Q.S. 15: 26–30)

26. “Dan, sungguh Kami telah menciptakan manusia dari tanah kering yang berasal dari lumpur hitam yang dibentuk.
27. Dan, jin sebelumnya Kami ciptakan dari api yang sangat panas.
28. Dan, tatkala Robb-Mu berkata kepada malaikat, sesungguhnya Aku telah menciptakan manusia dari tanah liat yang berasal dari lumpur hitam yang dibentuk.
29. Dan, tatkala Aku sempurnakan maka Aku tiupkan Ruh-Ku ke dalamnya maka Aku berkata kepada mereka bersujudlah.
30. Maka, bersujudlah semua malaikat.”


Jika kita perhatikan ayat tadi, jelaslah bahwa manusia diciptakan dari tanah liat yang berasal dari lumpur hitam yang dibentuk. Dengan kata lain, manusia tidak diciptakan dari bahan yang baik, tapi dari bahan yang sangat rendah, yakni tanah liat. Ini membuktikan kepada kita bahwa sesungguhnya kebesaran dan kesucian Alloh terbukti dengan ciptaan-Nya, yaitu kita sebagai manusia.

Selanjutnya, simaklah ayat di bawah ini. (Q.S. 86: 5–10)

5. “Maka, apakah manusia tidak memperhatikan dari apa ia diciptakan?
6. Diciptakan dari air yang memancar
7. yang keluar dari tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.
8. Sesungguhnya, Dia menentukan atas pengeluarannya
9. pada hari dibukakan semua rahasia.
10. Dan, baginya tidak ada kekuatan dan juga tidak ada pertolongan.”


Ayat di atas menegaskan bahwa sesungguhnya manusia diciptakan dari sesuatu yang sangat hina. Manusia tidak memiliki kekuatan dan tidak memiliki penolong. Jadi, dengan kata lain, manusia tidak bisa berbuat dan tidak bisa bertindak sendiri karena pertolongan dan kekuatan hanyalah milik Alloh.

Dengan demikian, apa yang harus kita sombongkan? Apa pula yang harus kita banggakan? Pada kenyataannya, kita tidak memiliki apa-apa dan pada dasarnya kita hanya mempergunakan semua fasilitas yang diberikan Alloh.

Lalu, atas kehendak siapa kita dilahirkan ke dunia? Dan, harus bagaimana kita hidup di dunia ini. Untuk menjawabnya, mari kita simak ayat berikut. (Q.S. 2: 30)

“Dan, ingat ketika Robbmu berkata kepada malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang kholifah di muka bumi ini.’ Mereka berkata, “Mengapa Engkau menjadikan kholifah di muka bumi ini? Orang yang akan membuat kerusakan dan akan menumpahkan darah. Padahal, kami senantiasa selalu bertasbih dengan memuji Engkau dan selalu menyucikan Engkau.“ Sesungguhnya, Aku lebih mengetahui dari apa-apa yang tidak kalian ketahui.”


Dari ayat di atas, terlihat bahwa malaikat protes atas penciptaan manusia sebab hanya manusia yang akan dijadikan kholifah (pengganti) di muka bumi ini. Jadi, pada dasarnya, bumi ini diserahkan kepada manusia secara sepenuhnya. Malaikat protes karena ingin dan berambisi menjadi kholifah sehingga mengajukan pendapat bahwa manusia akan merusak dan menumpahkan darah sehingga Alloh berfirman, “Sesungguhnya, Aku lebih mengetahui dari apa-apa yang mereka ketahui.“.

Selanjutnya, simak ayat berikut. (Q.S. 2: 31–33)

31. “Dan, dia mengajarkan kepada Adam nama-nama keseluruhan kemudian mengemukakannya kepada Malaikat lalu Dia berfirman “Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu jika memang kalian benar.”.
32. Mereka menjawab, “Kesucian milik Engkau, tidak ada yang kami tahu selain dari apa-apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya, Engkaulah yang memberi tahu dan Engkaulah yang menghukum.”.
33. Alloh berfirman, ‘Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama benda-benda ini maka setelah diberi tahu kepada mereka nama benda-benda itu, Alloh berfirman, “Bukankah sudah Kukatakan kepada kalian bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa-apa yang kalian lahirkan dan apa-apa yang kalian sembunyikan?’”


Hal ini membuktikan bahwa keputusan Alloh itu benar dan bahwa manusia tidak tahu menahu tentang sesuatu yang ada di muka bumi ini sebelum diberi tahu oleh Alloh. Sesungguhnya, hanya Alloh lah yang mengetahui segala sesuatunya.
Pada ayat selanjutnya ditegaskan bahwa protes malaikat yang mengatakan bahwa manusia akan saling menumpahkan darah hanyalah perkataan yang dibuat-buat, terbukti ketika ditandingkan dengan Adam, malaikat tidak bisa menjawab karena Adam sudah diberi tahu, sedangkan malaikat tidak diberi tahu. Maka, jelas malaikat tidak bisa menjawab. Hal ini membuktikan bahwa malaikat pun tidak mengetahui apa-apa jika tidak diberi tahu oleh Alloh.

Lalu, siapakah yang melakukan protes pada saat itu? Mari kita simak ayat berikutnya di bawah ini. (Q.S. 2: 34)


“Dan, ingatlah ketika Kami berkata kepada malaikat, “Sujudlah Kalian kepada Adam!“ Maka, bersujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan menyombongkan diri maka ia tergolong dari sebagian yang kafir.”


Hal ini membuktikan bahwa yang banyak memprotes adalah Iblis yang mengatasnamakan Malaikat, terbukti saat disuruh bersujud, dia enggan dan menyombongkan diri karena berambisi ingin menjadi kholifah di muka bumi ini. Iblislah yang akan membuktikan perkataanya, bahwa manusia akan menumpahkan darah dan merusak di muka bumi ini. Dia akan menghasut dan membujuk manusia agar membuat kerusakan sehingga terbuktilah apa yang dia katakan. Manusia pun tidak akan bisa berbuat apa-apa karena manusia adalah makhluk doif (lemah). Jadi, pada dasarnya manusia tidak akan bisa berbuat baik kalau tidak ada yang memberi tahu dan juga tidak akan bisa berbuat jahat kalau tidak diberi tahu. Hal ini, seperti telah dijelaskan sebelumnya, terbukti ketika Adam dikonteskan dengan malaikat. Adam bisa menjawab semua pertanyaan Alloh karena Adam sudah mendapatkan pelajaran tentang itu, sedangkan malaikat tidak bisa menjawab karena tidak diberi tahu tentang pelajaran itu. Jadi, kesimpulannya hanya Allohlah pemilik semua ilmu pengetahuan. Manusia ataupun makhluk lain tidak akan tahu kalau tidak diberi pengetahuan oleh Alloh.

Selanjutnya, siapakah Iblis dan dari mana asalnya? Untuk menjawabnya, kita simak ayat di bawah ini. (Q.S. 18: 50)



“Dan, ingatlah ketika Kami berfirman kepada Malaikat, ‘Sujudlah kalian kepada Adam!’ Maka, sujudlah mereka kecuali Iblis: dia adalah dari golongan Jin yang mendurhakai perintah Robbnya. Maka, patutkah kalian mengambil dia dan keturunannya sebagai pelindung selain dari pada Aku?.Sedang, mereka adalah musuh kalian. Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti pelindung bagi orang-orang yang ddzolim.”


Berdasarkan ayat ini, Iblis adalah Jin yang tidak patuh terhadap perintah Robbnya. Dengan memperhatikan ayat ini pula, jelaslah bahwa Iblis inilah yang akan mengelincirkan manusia. Dan, Iblis adalah musuh bagi manusia. Jika iblis adalah jin yang mendurhakai perintah tuhannya, adakah jin yang patuh pada Alloh? Saat Alloh memerintahkan malaikat untuk bersujud, hanya Iblis yang membangkang. Jadi, jelas bahwa jin yang patuh pada saat itu adalah golongan Malaikat yang patuh terhadap perintah Tuhannya.
Jika Iblis adalah musuh manusia, kita harus mengetahui karakter-karakter khususnya. Dengan demikian, kita tahu seberapa besar kekuatan musuh kita itu dan apa saja yang akan diperbuat sehingga kita bisa lebih berhati-hati dalam menghindari dan melawannya. Di mana pulakah mereka berada? Mari kita simak ayat berikut. (Q.S. 17: 63–65)


63. “Alloh berfirman, ‘Pergilah! Maka, barangsiapa yang mengikutimu maka sesungguhnya jahannam sebagai balasan bagi kalian semua merupakan balasan yang cukup.’
64. Dan, hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak mereka dan beri janjilah mereka dan tidak ada yang dijanjikan oleh syaiton kepada mereka melainkan tipu daya.
65. Sesungguhnya, terhadap hamba-hamba-Ku kamu tidak berkuasa atas mereka dan cukuplah Robbmu sebagai pelindung.”


Jika kita perhatikan ayat tadi, jelaslah bahwa syaiton mempunyai kekuatan yang sangat hebat. Mereka memiliki pasukan-pasukan yang berkuda dan yang berjalan kaki. Akan tetapi, syaithon akan berada atau berserikat dengan harta dan anak-anak. Di tempat-tempat itulah, syaithon akan berada. Sementara, penangkalnya hanya satu, mengabdilah kepada Alloh dan cukuplah Alloh sebagai pelindung dan hendaknya kita tidak mencari pelindung selain dari pada–Nya.

Setelah kita mengetahui kekuatan dan tempat bercokolnya musuh kita, mari kembali kepada kita sebagai manusia yang ditugaskan sebagai kholifah. Kita renungkan kelemahan-kelemahan kita sebagai manusia agar kita bisa melawan atau menghidar dari serangan-serangan musuh yang sangat tangguh tadi. Mari kita lihat sifat-sifat asli manusia agar kita bisa tahu bagaimana kita harus bertindak dan berbuat supaya kita mampu menjadi pemenang ketika berperang melawan musuh yang sangat tangguh tadi. Mari kita simak ayat berikut. (Q.S. 96: 6–7)


6. “Ingat, sesungguhnya manusia itu pastilah sombong adanya
7. manakala ia melihat dirinya merasa cukup.”



Dalam ayat ini, tersirat satu kepastian bahwa sifat manusia adalah sombong apabila melihat dirinya merasa cukup. Jadi, kesombongan itu akan muncul dari pengakuan dirinya saat dia merasa lebih kaya dari orang lain atau merasa lebih miskin dari orang lain juga merasa lebih pandai dari pada orang lain atau merasa lebih bodoh dari orang lain,dan kebiasaan orang-orang terdahulu sampai sekarang kita selalu ingin lebih dari orang lain dengan selalu membangga-banggakan keturunannya ,membangga-banggakan gurunya, membangga-banggakan kekayaannya sehingga kita ingin lebih dari orang lain . Yang jelas, kesombongan akan muncul ketika manusia merasa lebih dari orang lain. Inilah sifat pertama yang menonjol dari manusia. Kelemahan-kelemahan inilah yang akan dimanfaatkan iblis untuk melumpuhkan kita.

Ayat lain menerangkan kelemahan manusia yang lain sebagai berikut. (Q.S. 70: 19–21)


19. “Sesungguhnya, manusia diciptakan bersifat keluh kesah.
20. Apabila ditimpakan kesusahan dia keluh kesah.
21. Dan, apabila ditimpakan kebaikan, ia kikir.”


Berdasarkan ayat ini, jelaslah diketahui bahwa manusia diciptakan atau dikondisikan dengan sifat–sifat yang tidak mau menerima keadaan. Saat dalam keadaan menderita, dia akan berkeluh kesah dan menggerutu. Sementara, saat mendapatkan kelebihan, dia akan bersifat kikir. Begitulah sifat manusia

Kelemahan-kelemahan manusia inilah yang merupakan ladang subur bagi Iblis untuk melaksanakan programnya, yakni menggelincirkan manusia agar menjadi penghuni neraka jahannam sehingga manusia pun kekal di dalamnya. Hal ini telah dilakukan iblis kepada manusia pertama, yakni Adam. Iblis berhasil menggelincirkan Adam sehingga keluar dari Jannah.
Simaklah ayat berikut. (Q.S. 2: 36)


“Lalu, keduanya digelincirkan dari syurga itu oleh syaiton dan dikeluarkanlah dari keadaan semula lalu Kami berfirman, ‘Keluarlah kalian, sebagian kalian menjadi musuh sebagian yang lainnya dan bagi kalian adalah bumi menjadi tempat kediaman kalian dan kesenangan hidup sampai batas waktu yang telah ditentukan.’”


Ini merupakan kemenangan Iblis yang pertama. Dia sanggup menggelincirkan Adam dari tempat kedudukan semula yang penuh dengan kenikmatan dan kebebasan yang tak terbatas hanya dengan mempergunakan kelemahan yang ada pada manusia. Adam pun tergelincir ke tempat yang dibatasi oleh waktu dan keadaan. Hal ini merupakan satu pelajaran untuk kita agar kita mampu menutupi kelemahan-kelemahan tadi sehingga kita tidak mudah digelincirkan oleh syaiton.

Meskipun Adam sudah durhaka, kasih sayang Alloh terhadap manusia sungguh besar sehingga Adam diturunkan ke dunia dengan dibekali kalimat-kalimat, sebagaimana tercantum dalam ayat berikut. (Q.S. 2: 37–38)

37. “Kemudian, Adam menerima beberapa kalimat dari Robbnya maka Alloh menerima taubatnya. Sesungguhnya, Dia penerima taubat dan penyayang.
38. Kami berfirman, “Keluarlah kalian dari syurga ini kemudian jika datang petunjuk-Ku kepada kalian maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak pula merasa bersedih.

Hal ini membuktikan betapa besar kasih sayang Alloh terhadap manusia. Adam dibekali dengan beberapa kalimat untuk bertaubat dan dijanjikan untuk diberi petunjuk agar tidak tersesat di perjalanan dan agar kembali menempati tempat yang penuh dengan kenikmatan,berdasarkan ayat ini pula jika kita ingin selamat maka kita harus mengikuti petunjuk-petunjuk yang telah diturunkan oleh Alloh melaluli para Rosul-nya.

Selanjutnya, kita kembali lagi kepada fitroh manusia bahwa sesungguhnya manusia dilahirkan ke dunia ini untuk menjadi kholifah dan semata-mata untuk beribadah kepada Alloh. Manusia harus mengabdi kepada Alloh, bukan mengabdi kepada selain Alloh. Adapun dalam melaksanakan pengabdian, ada beberapa persyaratan yang harus kita tempuh dan akan dibahas satu per satu.







Syahadat












Syarat pertama dalam beragama Islam adalah berikror Syahadat, yaitu bersaksi. Sebelum bersaksi, hendaknya kita mengerti apa yang kita saksikan atau nyatakan sebagaimana tercantum dalam ayat berikut. (Q.S. 3: 81–82)

81. ”Dan, ingat ketika Alloh mengambil perjanjian dari para Nabi tentang apa-apa yang telah Aku datangkan kepada kalian berupa ketentuan-ketentuan dan hukum kemudian datang kepada kalian seorang Rosul yang membenarkan apa-apa yang ada pada kalian, niscaya kalian akan benar-benar beriman kepadanya dan kalian akan peduli kepadanya. Dia berkata, “Apakah kalian mangakui dan akan menerima perjanjian ini?“ Mereka menjawab, “Kami menerima.” Dia berkata, “Kalau begitu, bersaksilah kalian dan aku menjadi saksi bersama kalian”.
82. Barangsiapa berpaling sesudah perjanjian itu maka mereka itu tergolong orang-orang yang fasik.


Jika menyimak ayat tadi, jelaslah bahwa sebelum berikror (pernyataan/perjanjian) atau bersaksi, kita harus mengerti makna perjanjian tersebut yang akan dijelaskan oleh seorang Rosul (utusan) yang didatangkan kepada kita sehingga kita mengerti dan berani mengambil perjanjian. Jika kita belum mengerti, kita tidak akan bertanggung jawab terhadap apa yang telah kita janjikan. Sementara, orang yang berpaling dari perjanjian termasuk orang-orang yang fasik. Setelah mengerti, kita harus membersihkan diri dari segala unsur yang akan mengganggu peribadatan.
Simaklah ayat berikut ini (Qs 62: 2)


Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang awam seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka ketentuan dan hukum. dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,


Ayat ini menegaskan kepada kita bahwa seorang rosul ditugaskan untuk mensucikan semua manusia artinya sebelum di ajarkan ketentuan-ketentuan yang diperintahkan Alloh dan hukum-hukum-Nya seorang rosul harus mensucikan manusia dari segala sifat-sifat dan kebiasaan-kebiasaan manusia supaya ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum Alloh tidak terkontaminasi oleh adat dan kebiasaan dari pada manusia itu sendiri,karena sudah satu kepastian setiap kelompok manusia pasti akan berbeda adat dan kebiasaannya tergantung dari lingkungan mereka itu sendiri seperti halnya orang jawa mereka terpengaruh oleh adat jawa, orang sunda juga terpengaruh oleh adat sunda,orang padang juga terpengaruh oleh adat padang,adat inilah yang akan mempengaruhi ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum Alloh yang akhirnya akan menimbulkan beberapa kelompok yang berbeda padahal semua sama Qur’annya sama Nabi dan Rosulnyapun sama tapi karena adat yang berbeda jadilah Islam itu bermacam-macam,berdasarkan demikian maka tugas seorang Rosul adalah untuk membersihkannya sifat-sifat yang tadi agar umat Islam itu hanya satu pedomannya yakni Al-qur’an dan Sunah Nabi.

Sekarang setelah kita mengerti dan kita masuk menjadi orang Islam dan mengaku sebagai manusia yang beriman akan-kah kita langsung di terima oleh Alloh sebagai hambanya

Simaklah ayat di bawah ini. (Q.S. 9: 16–18)


16. “Apakah kalian mengira bahwa kalian akan dibiarkan, sedang Alloh belum mengetahui (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad di antara kalian dan tidak mengambil menjadi teman yang setia selain Alloh, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman? Dan, Alloh yang memberi tahu apa yang kalian kerjakan.
17. Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Alloh, sedang mereka menyaksikan bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya dan mereka kekal di dalam neraka.
18. Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Alloh ialah orang-orang yang beriman kepada Alloh dan hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, mendatangkan kebersihan, dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Alloh. Maka, merekalah orang-orang yang termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.


Ayat 16 di atas menjelaskan kepada kita bahwa kita tidak akan dibiarkan oleh Alloh. Setelah mengucapkan perjanjian, kesungguhan kita akan diuji, apakah kita benar-benar menepati perjanjian tadi atau tidak. Sementara, pertanyaan “Apakah kalian mengambil teman selain Alloh?” bermaksud bahwa dalam melaksanakan perbuatan-perbuatan, apakah kita akan mengambil dan memakai hukum-hukum Alloh dan sunah Rosul-Nya atau tidak.

Kata dalam ayat berikutnya bukan merupakan dzorof makan saja, tapi juga bermakna dzorof zaman, yakni waktu-waktu bersujud kepada Alloh atau saat-saat melaksanakan pengabdian kepada Alloh. Jadi, kalau kita mengambil dzorof zaman, tidak layak bagi orang-orang musyrik untuk melaksanakan semua perintah Alloh sedangkan dia sendiri menyaksikan atau menyadari penolakannya.

Contoh: Jika seorang muslimah menolak memakai pakaian yang sudah ditentukan oleh Alloh, sia-sialah semua persujudannya kepada Alloh. Demikian juga untuk kaum muslimin, kalau menolak cara berpakaian yang sudah ditentukan oleh Alloh dan Rosul-Nya, jelas sia-sialah segala bentuk pengabdiannya.

Jadi jelas setelah kita mengatakan beriman kepada Alloh tidak serta merta diterima sebagai hambanya sebelum kita membuktikan pengakuan tersebut dengan prilaku kita dan benar-benar mempergunakan hukum hanya hukum Alloh tidak terkontaminasi oleh adat dan kebiasaan yang akan menimbulkan perbedaan-perbedaan dalam tata cara pelaksanaan pengabdian kepada Alloh.
Sedangkan criteria Iman menurut ( Qs 23 : 1 – 9 )

1. Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,
2. (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sholat nya,
3. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna,
4. Dan orang-orang yang mengerjakan kebersihan
5. Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,
6. Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau orang-orang yang dikuasai berdasarkan perjanjian mereka Maka Sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada terceIa.
7. Barangsiapa mencari yang di balik itu.Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.
8. Dan orang-orang yang menepati amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.
9. Dan orang-orang yang memelihara sholat-sholat nya.
Kalau kita simak ayat tadi jelas bahwa orang-orang yang beriman itu dalah orang-orang yang harus memenuhi syarat-syarat tadi yakni pertama harus khusuk dalam sholatnya,yang dimaksud dengan sholat disini bukan hanya sekedar rukuk dan sujud yang di perintahkan sehari semalam lima waktu tapi sholat disini mencakup keseluruhan sekarang mari kita lihat dari segi bahasa dahulu asal kata dari pada adalah fiil madhi mudhorinya adalah masdarnya adalah yang dalam tarjamahnya adalah nyambung atau masuk, jadi syarat yang pertama adalah kekhusukan kita dalam menyambungkan diri dengan Alloh dalam artian hatinya selalu terpaut kepada Alloh hatinya selalu mengingat Alloh inilah inti dari pada ”Khusuk dalam Sholatnya“.

Yang kedua orang yang beriman itu adalah orang yang menjauhi perbuatan-perbuatan yang sia-sia, yang jelas orang yang beriman itu penuh dengan perhitungan,dia selalu mempertimbangkan segala sesuatunya apakah banyak madhorotnya atauhkah banyak manfaatnya orang yang beriman selalu hati-hati dalam berbuat,bertindak ataupun dalam berkata-kata itulah syarat yang kedua yang harus di penuhi.

Yang ketiga orang yang beriman itu adalah orang yang selalu mengerjakan kebersihan, kebersihan harta, prilaku, lingkungan, pakaian dll. Jadi seorang yang beriman selalu bersih dalam segala sesuatunya sesuai dengan Al-Hadits yang artinya “ Kebersihan itu adalah sebagian dari pada Iman” dengan hadits ini menjelaskan bahwa orang yang beriman itu hidupnya selalu bersih tidak jorok dan kalau merujuk pada hadits tadi maka kotor( jorok ) adalah sebagian dari pada kafir

Yang keempat orang yang beriman itu adalah orang yang selalu menjaga kemaluannya artinya dia tidak mengerjakan zinnah.
Yang kelima orang yang beriman itu adalah orang yang terpercaya.

Yang keenam orang yang beriman itu adalah orang yang melaksanakan semua perintah-perintah Alloh dan menjauhi semua larangan-Nya yang di sebut memelihara Sholat-sholatnya itu adalah memelihara semua program-program Alloh dan rosulnya yakni segala syariat-syariat pengabdian kepada Alloh. Demikianlah criteria Iman menurut hukum Alloh.

Menurut Al-Hadits


‘An Anasin rodiyallohu ‘anhu,’Annabiyyi qoola: Laa yuaminu ahadukum hatta yuhibbalakhiihi maa yuhibbulinafsihi

Diriwayatkan dari Annas ra. Dari Nabi,beliau bersabda :” Demi Alloh yang menguasai diri-Ku! Seseorang di antara kalian tidak dikatakan beriman sebelum dia menyayangi saudaranya sesama mukmin sama seperti menyayangi dirinya sendiri ( HR. Bukhori )

Dengan merujuk hadits ini jelas sesama mukmin kita harus saling sayang menyayangi harus saling tolong menolong harus semakin mempererat tali persaudarahan sesama mukmin tidak boleh saling menghujat demikian makna dari hadits ini.
Selanjutnya Hadits yang lain mengatakan.

‘An Abii khuroirota rodiyalloohu’anhu: Anna Rosululloohi,Qoola: fawalladzii nafsii yadihi,laayuaminu ahadukum hattaa akuuna ahabba ilaihi min walidi wa waladihi. ‘an Anasi rodiyalloohu ‘anhu hadiitsu bi’ayanihi wazaada fii akhirihi wa annaasi ajmaiini.

Diriwayatkan dari Abukhurairoh ra.bbahwa Rosululloh pernah bersabda: Demi Allooh yang menguasai diriku!seseorang di antara kalian tidak di anggap beriman kecuali jika Aku lebih dicintai olehnya dari pada orang tua dan anaknya diriwayatkan dari Anas ra dengan hadits sebelumnya dengan tambahan di bagian akhir sebagai berikut : Serta semua umat manusia ( H.R.Bukhori )

Hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa sesungguhnya kita harus mencintai Rosul melebihi segalanya,makna dari cinta tersebut adalah menomersatukan Rosul artinya apapun kata Rosul meskipun berat meskipun tidak sesuai dengan keinginan kita harus melaksanakannya demikian makna dari hadits tadi.

Contoh: Kita mencintai seseorang maka bukti cinta kita,kita berani berkorban demi orang yang kita cintai,apapun keinginan dari orang tadi pasti kita akan memenuhinya demi kecintaan kita kepada orang tersebut.

Sedangkan kita harus mencintai Rosul melebihi kecintaan kita kepada siapapun jelas kita harus mengenal sampai sejauh mana kepribadian Rosul jelas disini kita harus lebih mengenal sunah-sunah nya.

Sekarang siapakah yang harus membersihkan kita dan siapakah yang harus menerangkan dan harus mengajarkan ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum Alloh dan menerangkan tentang sunah-sunah Nabi dan Rosul mari kita pelajari dahulu siapakah Rosul itu.


Para Penerus Nabi dan Rosul

Dalam surah Al-Baqoroh ayat 30, diterangkan bahwa Alloh hendak menjadikan kholifah di muka bumi ini. Yang dimaksud kholifah pada saat itu tentulah Adam yang kita yakini sebagai manusia pertama yang Alloh ciptakan dan juga Ia angkat sebagai Nabi.

Kholifah diangkat oleh Alloh dengan tujuan untuk memelihara alam ini. Mengingat tugasnya sangat berat, Alloh membekali Adam dengan berbagai macam ilmu yang diperlukan untuk menjalankan kekholifahannya agar manusia dapat berkembang biak. Maka, Alloh menciptakan Hawa sebagai pasangan hidupnya. Lalu, secara bertahap, jumlah penduduk bumi ini makin lama semakin bertambah banyak.

Sebelum menciptakan jin dan manusia, Alloh telah menyediakan sarana dan prasarananya untuk mereka, yaitu bumi, langit, dan seluruh isinya agar mereka dapat beribadah kepada-Nya. Agar dapat menjalankan ibadah sesuai dengan kehendak-Nya, manusia diberi pedoman hidup yang di dalamnya berisi petunjuk-petunjuk, perintah, dan larangan-larangan Alloh. Petunjuk tersebut diterima oleh para Nabi dan Rosul. Agar petunjuk tadi sampai kepada manusia yang ada di muka bumi ini, para Nabi dan Rosul diberi tugas menyampaikannya kepada manusia. Orang yang menerima petunjuk tadi disebut manusia yang beriman (mukmin), sedangkan orang yang tidak menerimanya disebut kafir.

Pada zaman dahulu, pedoman atau petunjuk tadi belum berupa kitab. Karena datang dari Alloh, petunjuk tersebut dinamai wahyu atau firman Alloh yang disampaikan kepada manusia secara lisan oleh para Nabi dan Rosul-Nya melalui da’wah. Mereka yang menerima dan memahami da’wah tadi diberi bimbingan-bimbingan secara khusus melalui majelis ta’lim.

Dalam menyebarkan wahyu-Nya, Alloh mempunyai metode yang harus diterapkan oleh utusan-Nya. Pertama, melalui da’wah, berupa penjelasan tentang wahyu yang diterima. Apabila penjelasannya diterima, diadakanlah penyucian diri bagi yang menerimanya. Ini adalah penyucian diri dari kepercayaan-kepercayaan yang tidak sesuai dengan wahyu Alloh. Lalu, disiapkanlah mental para penerimanya untuk dapat melaksanakan wahyu tersebut. Setelah itu, diadakan pembinaan-pembinaan. Hal ini dijelaskan dalam ayat berikut. (Q.S. 62: 2)


“Dialah yang membangkitkan seorang Rosul kepada kaum yang awam di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka berbagai ketetapan dan hukum. Dan, sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. “

Sebelum mendapatkan penjelasan tentang pedoman hidup tersebut, manusia ada dalam keadaan sesat, tidak tahu jalan yang lurus, dan tidak tahu kebenaran. Demikian juga keadaan umat manusia sesudahnya, saat mereka saling berhubungan satu dengan yang lainnya juga akan tetap berada dalam kesesatan bila mereka (tidak?) mendapat bimbingan sesuai dengan sistematika atau metode dari Alloh tersebut seperti yang dijelaskan dalam ayat selanjutnya berikut ini. (Q.S. 62: 3)


“Demikian juga kepada kaum yang lain dari mereka pada saat mereka berhubungan dengan mereka. Dan, Dialah pemilik keperkasaan dan hukum.”


Alloh tidak pernah memaksa manusia untuk mau menerima wahyu-Nya. Keputusan untuk menerima atau tidak ada di tangan manusia itu sendiri seperti tersirat dalam ayat di bawah ini. Alloh menyuruh utusan-Nya untuk berkata, (Q.S. 18: 29)


“Dan, katakanlah: ‘Kebenaran itu datangnya dari Robbmu. Maka, barangsiapa yang ingin (beriman), hendaklah ia beriman dan Kami telah sediakan bagi orang-orang dzolim itu neraka yang gejolaknya mengepung mereka. Dan, jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.’”


Itulah ancaman bagi orang-orang yang tidak mau menerima petunjuk. Mereka akan ditempatkan di neraka jahannam dengan segala siksaannya. Sementara, bagi orang-orang yang mau menerima, Alloh menyediakan tempat, yakni syurga dengan segala kenikmatannya. Begitulah janji-Nya seperti yang tersirat dalam ayat berikutnya di bawah ini. (Q.S. 18: 30–31)


30. “Sesungguhnya, mereka yang beriman dan beramal sholeh, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalnya dengan baik
31. Mereka itulah orang-orang yang baginya adalah surga Adn, mengalir sungai-sungai di bawahnya. Dalam surga itu, mereka dihiasi dengan gelang-gelang emas dan memakai pakaian hijau dari sutra halus dan sutra tebal, sedang mereka duduk-duduk bersandar di atas singasana yang indah. Itulah pahala yang sebaik-baiknya dan tempat istirahat yang indah.”


Kemudian, agar firman dan wahyu Alloh itu bisa terus diingat, timbul gagasan untuk mengabadikannya dalam bentuk tulisan. Karena pada saat itu belum ada kertas, firman-firman tersebut ditulis dalm lembaran-lembaran pelapah daun kurma dan dalam lembaran-lembaran kulit binatang yang kemudian disebut shuhuf.

Firman Alloh ini di antaranya mengandung ketetapan-ketetapan, ketentuan-ketentuan, atau aturan-aturan beribadah. Oleh karena itu, firman Alloh juga disebut kitab. Bentuk jamaknya adalah kutubun. Kemudian, kitab tersebut diberi nama tersendiri. Pada zaman Nabi Musa, kitab Alloh disebut Taurot, pada zaman Nabi Daud, disebut Zabur, pada zaman Nabi Isa disebut Injil, dan pada zaman Nabi Muhammad disebut Qur’an. Apapun nama kitab tersebut, isinya tetap sama, dimulai dari masa Nabi Adam sampai pada masa Nabi terakhir, yaitu Muhammad. Intinya yaitu mengajarkan manusia untuk mengabdi kepada Alloh melalui sebagaimana tersirat dan dijelaskan dalam ayat berikut. (Q.S. 21: 25)

“Dan, Kami tidak mengutus seorang Rosul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: ‘Bahwasannya tidak ada Tuhan selain Aku, maka mengabdilah kepada-Ku.’“


Apabila aturan atau ketetapan Alloh tersebut dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari dalam rangka menjalankan peribadahan kepada Alloh, Alloh menjamin keselamatan hidupnya baik di dunia maupun di akhirat kelak. Dilihat dari fungsinya, yaitu menyelamatkan, aturan atau ketetapan itu disebut Islam karena Islam sendiri mengandung pengertian menyelamatkan atau menyerahkan diri. Sementara, orang yang berpedoman pada aturan tadi dinamakan muslim, artinya yang berserah diri. Hal tersebut dijelaskan dalam ayat di bawah ini. (Q.S. 22: 78)
“Dan, berjihadlah kalian di jalan Alloh dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kalian dan Dia tidak menjadikan kesempitan untuk kalian dalam beragama. Ikutilah syari’at beragama bapak kalian, yaitu Ibrohim. Dia telah menamai kalian orang-orang muslim dari dahulu dan begitu pula dalam Qur’an ini supaya Rosul itu menjadi saksi atas kalian dan supaya kalian menyaksikan atas segenap manusia. Maka, dirikanlah sholat dan datangkanlah kebersihan dan berpegang teguhlah kalian pada tali Alloh. Dia adalah pelindung kalian. Maka, Dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.”


Kesimpulannya adalah bahwa aturan-aturan atau ketetapan-ketetapan yang intinya mengharuskan manusia untuk mengabdi kepada Alloh disebut Islam apapun nama kitabnya. Apabila ada aturan atau ketetapan yang mengatur kehidupan, tapi bukan datang dari Alloh, apalagi jika tidak menyuruh untuk mengabdi kepada Alloh, tetapi harus mengabdi kepada selain dari pada Alloh, aturan atau ketetapan itu bukanlah Islam. Alloh hanya meridhoi Islam sebagai aturan hidup manusia sebagai agama yang diridhoi dan yang disempurnakan oleh Alloh seperti yang tersirat dalam ayat di bawah ini. (Q.S. 3: 19)


“Sesungguhnya, agama yang diridhoi di sisi Alloh hanyalah Islam, tidak berselisih orang-orang yang telah diberi kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Alloh maka sesungguhnya Alloh sangat cepat penghitungan-Nya.”


Apabila manusia tidak memilih Islam sebagai aturan atau pedoman dalam kehidupannya, tentu saja semua amal-amalanya tidak akan diterima oleh Alloh. Di akhirat nanti, ia akan menjadi orang-orang yang merugi sebagaimana tercantum dalam ayat berikutnya di bawah ini. (Q.S. 3: 85)

“Barangsiapa yang mencari aturan selain dari pada aturan Islam maka sekali-kali tidaklah akan diterima-Nya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.”

Orang yang telah beriman, yang telah memilih Islam sebagai pedoman hidupnya, yang ridho hidupnya diatur oleh aturan Alloh, tidak boleh tanggung-tanggung dan tidak boleh setengah-setengah dalam menjalankan perintah, larangan, maupun petunjuk-Nya. Dia harus mengikuti aturan Islam secara keseluruhan. Apapun aturan atau ketetapan Alloh, ia harus melaksanakannya dengan penuh tanggung jawab sekalipun berat dan sekalipun harus mengorbankan seluruh jiwa raganya. Dan, perlu diingat bahwa syaiton tidak akan tinggal diam sewaktu kita sedang menjalankan aturan-Nya. Cukuplah kesalahan Adam yang tergelincir oleh bujuk rayu syaiton menjadi pelajaran bagi kita semua sebagaimana tersirat dalam ayat di bawah ini. (Q.S. 2: 208)


“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaiton. Sesungguhnya, syaiton itu musuh yang nyata bagi kalian.”


Generasi sesudah Nabi Musa seharusnya percaya kepada kitab yang dibawa oleh Nabi Daud. Demikian pula generasi setelah Nabi Daud, harus percaya kepada kitab yang dibawa oleh Nabi Isa dan generasi setelah Nabi Isa harus percaya kepada kitab yang dibawa oleh Nabi Muhammad karena kitab-kitab mereka membenarkan kitab-kitab sebelumnya. Kitab zabur membenarkan kitab Taurot. Demikian juga kitab Injil, membenarkan Taurot dan Zabur. Sementara, kitab Qur’an membenarkan kitab Taurot, Zabur, dan Injil sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut. (Q.S. 3: 3)


“Dia menurunkan kitab kepadamu dengan haq, membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurot dan Injil.”


Jadi, jelas bahwa kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad membenarkan kitab sebelumnya. Kitab Qur’an juga menyempurnakan hukum-hukum dalam kitab-kitab sebelumnya, yakni Taurot, Zabur, dan Injil.

Kriteria orang yang beriman dan bertakwa untuk generasi setelah Nabi Isa di antaranya adalah percaya kepada kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad. Mereka juga percaya kepada kitab-kitab yang sebelumnya sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut. (Q.S. 2: 4)


“Dan, mereka beriman kepada kitab yang diturunkan kepadamu dan kepada kitab-kitab yang diturunkan sebelummu serta mereka meyakini kepada akhirnya.”

Apabila semua manusia di muka bumi ini mau menerima Islam sebagai satu-satunya pedoman hidup yang disampaikan oleh utusan-Nya dan meyaqini akhir, mereka akan mendapatkan kenikmatan dunia akhirat. Akan tetapi, jika menolaknya, mereka akan mendapatkan adzab dunia dan akhirat seperti yang terjadi sejak zaman dahulu.

Bila semua manusia mengikuti aturan Alloh, umat manusia akan menjadi umat yang satu sampai sekarang, tidak terpecah-pecah menjadi beberapa golongan karena mereka semua mengacu pada aturan yang sama. Itulah aturan yang datang dari Alloh dan disebarluaskan oleh para utusan-Nya. Bila ternyata manusia berpecah belah, berarti tidak semua manusia menerapkan Islam sebagai pedoman hidup karena kalau pedomannya sama, tidak mungkin manusia terpecah-pecah menjadi beberapa golongan.

Pada zaman dahulu, yang menyampaikan wahyu adalah para Nabi dan Rosul. Nabi adalah utusan yang menerima wahyu. Sementara, Rosul adalah utusan yang menyampaikan wahyu. Hal ini sebagaimana tersirat dalam ayat di bawah ini.
“Manusia itu adalah umat yang satu lalu Alloh mengutus para Nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Dan, Alloh menurunkan bersama mereka kitab dengan haq untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan di dalamnya. Tidaklah berselisih tentang kitab itu, melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka kitab, yaitu setelah datang kepada mereka penjelasan-penjelasan yang nyata karena kedengkian di antara mereka. Maka, Alloh memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan idzin-Nya dan Alloh selalu memberi petunjuk kepada orang yang menghendakinya kepada jalan yang lurus.” (Q.S. 2: 213)


Seorang Rosul bertugas menyampaikan wahyu yang diterima olehnya kepada umat-umatnya. Dan, bila tidak disampaikan, dia termasuk orang yang kafir sebagaimana tercantum dalam ayat berikut.

“Hai Rosul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Robbmu dan jika tidak kamu sampaikan, berarti kamu tidak menyampaikan amanah-Nya Alloh memelihara kamu dari manusia. Sesungguhnya, Alloh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.” (Q.S. 5: 67)


Seorang Nabi atau Rosul dalam menyampaikan risalah-Nya tidaklah bekerja sendiri. Bisa kita bayangkan betapa repotnya seorang Nabi atau Rosul kalau harus menyampaikan risalah-Nya sendiri. Oleh karena itu, dia mengangkat orang yang telah dipercayai, terutama tentang keilmuannya di bidang agama untuk membantunya. Orang yang dipercayai dan diangkat oleh Rosul disebut Rosul Rosululloh, yaitu Rosul yang diangkat oleh Rosululloh seperti terungkap dalam keterangan berikut.

“Kaum Nuh telah mendustakan para Rosul”. (Q.S. 26: 105)


Simak pula ayat selanjutnya berikut ini.
“Kaum Ad telah mendustakan para Rosul.” (Q.S. 26: 123)

“Kaum Tsamud telah membohongkan para Rosul. (Q.S. 26: 141)


“Kaum Luth telah membohongkan para Rosul.” (Q.S. 26: 160)


“Penduduk Aikah telah membohongkan para Rosul.” (Q.S. 26: 176)
Ayat-ayat di atas merupakan bukti bahwa Nabi tidak berjuang sendiri, tapi memiliki pembantu yang diangkat oleh Nabi untuk membantu perjuangannya dalam menyebarluaskan risalah Alloh. Para pembantu Nabi tersebut banyak jumlahnya. Mereka tidak menerima wahyu dari Alloh secara langsung, tapi dari Nabi. Kemudian, mereka diberi tugas untuk menyampaikan risalah itu kepada kaumnya. Jadi, Rosul-Rosul ini bukan Nabi. Dengan kata lain, tidak semua Rosul adalah Nabi, tapi Nabi pastilah Rosul. Dilihat dari tugas mereka, yaitu menyampaikan risalah, para Rosul juga bisa disebut Mubaligh atau berarti yang menyampaikan risalah.

Dari ayat-ayat di atas, dapat kita lihat pula bahwa para Rosul tersebut didustakan oleh kaumnya baik oleh kaum Nuh, Ad, Tsamud, Luth, maupun oleh penduduk Aikah seperti contoh yang terdapat dalam Q.S. 26 – 105: “Kaum Nuh telah mendustakan para Rosul.“ Istilah “para Rosul” yang terdapat pada ayat di atas membuktikan bahwa Rosul yang didustakan oleh kaum Nuh tidak seorang, tapi banyak, termasuk Nabi Nuh sendiri. Demikian juga di zaman Nabi Muhammad, Nabi tidak bekerja sendiri. Oleh karena itu, beliau mengangkat para sahabatnya sebagai Rosul Rosululloh dan diberi tugas untuk menyampaikan segala yang sudah disampaikan oleh Nabi Muhammad kepada kaumnya.

Orang-orang pada saat itu tidak mempermasalahkan siapa yang menyampaikan risalah-Nya, apakah disampaikan langsung oleh Nabi Muhammad atau disampaikan oleh Rosul-Rosul yang lain, percaya pada segala yang disampaikan oleh para Rosul itu. Tidak mungkin apa yang disampaikannya berbeda karena apa yang mereka sampaikan itu berasal dari satu sumber, yakni Nabi Muhammad dan mereka percaya bahwa para Rosul itu adalah orang-orang yang beriman yang tidak mungkin khianat pada amanah-Nya.

Sifat yang harus dimiliki oleh Rosul adalah sidiq, amanah, tabligh, dan fatonah. Sifat pertama yang harus dimiliki oleh Rosul adalah amanah yang berarti jujur. Seorang Rosul harus menyampaikan wahyu apa adanya. Dia tidak boleh menambah atau mengurangi, apalagi mengubahnya. Orang-orang yang beriman sama sekali tidak membeda-bedakan di antara mereka sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut ini. (Q.S. 2 : 285)


“Rosul telah beriman terhadap apa-apa yang diturunkan kepadanya dari Robbnya. Demikian juga orang-orang yang beriman, semuanya beriman kepada Alloh, kepada malaikat-Nya, kepada kitab-kitab-Nya, dan kepada Rosul-Rosul-Nya (mereka berkata) “Kami tidak membeda-bedakan seorang pun dengan yang lain dari Rosul-Rosul-Nya.“ Dan, mereka mengatakan lagi “Kami dengar dan kami taat.“ Mereka berdo’a, “Yaa Robb, ampunilah kami. Hanya kepada Engkaulah tempat pengembalian kami.“


Karena kepercayaannya yang mendalam kepada para Rosul tersebut, apa yang mereka sampaikan baik berupa perintah, larangan, maupun petunjuk-petunjuk-Nya, orang-orang yang beriman akan mendengarkan dengan penuh kekhusuan dan menaati mereka. Mereka pun meminta ampun kepada Alloh atas ketidaktaatan yang pernah mereka lakukan karena mereka menyadari pada akhirnya hanya kepada Allohlah mereka dikembalikan.

Walupun demikian, yang diangkat Rosul pun hanya manusia biasa yang tidak akan luput dari kesalahan dan dosa. Di antara mereka ada juga yang tidak memegang amanah. Mereka tidak menyampaikan wahyu secara apa adanya: ada yang menambah, ada yang mengurangi, ada juga yang mengubah redaksi wahyu tersebut sehingga mereka dan pengikut-pengikutnya terpecah menjadi beberapa golongan sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut. (Q.S. 23: 51-53)


51. “Hai para Rosul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal sholeh. Sesungguhnya, Aku lebih mengetahui apa yang kalian kerjakan.
52. Sesungguhnya, ini adalah umat kalian, umat yang satu dan Aku adalah Robb kalian. Maka, bertakwalah kalian kepada-Ku.
53. Kemudian, mereka menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa golongan, tiap-tiap golongan merasa dengan golongan yang ada pada sisi mereka.”


Para Rosul dan pengikut yang sudah tidak mengamalkan ajaran yang murni sesuai dengan wahyu Alloh digolongkan kepada golongan orang-orang yang kafir. Jangankan menambah, mengurangi, apalagi mengubah, tidak mempercayai satu ayat pun sudah dikatakan kafir, demikian juga jika ada pengikut yang membeda-bedakan antara Rosul yang satu dengan Rosul yang lain. Mereka memercayai Rosul yang satu, tapi tidak memercayai Rosul yang lain. Ini berarti bahwa ayat-ayat yang disampaikan Rosul yang satu mereka percayai, sedangkan ayat-ayat yang disampaikan oleh Rosul yang lain tidak mereka percaya. Padahal, ayat-ayat yang disampaikan berasal dari sumber yang sama. Boleh jadi, mereka memilih-milih ayat yang sesuai dengan hawa napsu mereka dan yang sesuai dengan adat atau kebiasaan mereka. Mereka yang berbuat demikian termasuk orang-orang kafir yang sebenar-benarnya. Jadi, sebutan kafir itu tidak hanya ditujukan untuk orang yang tidak memilih Islam sebagai pedoman hidupnya, tetapi juga untuk mereka yang sudah beriman pun tapi tidak mau memercayai atau tidak mau mengamalkan ayat-ayat Alloh meskipun hanya satu ayat. Hal ini sesuai dengan ayat berikut. (Q.S. 4: 150–151)


150. “Sesungguhnya, orang-orang yang kafir kepada Alloh dan Rosul-Rosul-Nya, mereka bermaksud membedakan antara Alloh dan Rosul-Rosul-Nya dengan mengatakan “Kami beriman kepada yang sebagian dan kami kafir (menolak) kepada sebagian yang lainnya.“ serta bermaksud mengambil jalan tengah di antara mereka.
151. Mereka itulah orang-orang yang sebenar-benarnya kafir. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan.”


Lalu, bagaimana kedudukan para mubaligh pada saat ini? Dilihat dari tugas mereka, yaitu menyampaikan risalah Alloh, kedudukan mereka juga sama dengan Rosul. Hanya saja, mereka tidak menerima wahyu karena wahyu Alloh saat ini sudah lengkap. Semua wahyunya sudah terdapat dalam kitab Al-qur’an. Tugas mereka hanya menyampaikan wahyu yang ada di dalam kitab Al-qur’an tersebut.

Melihat kenyataan bahwa pada zaman dahulu ada Rosul yang amanah dan ada juga yang tidak amanah, saat ini juga ada mubaligh yang amanah dan ada pula mubaligh yang tidak amanah. Maka, di sini kita harus berhati-hati dalam mengikuti mereka. Dan, manusia harus mentaati Alloh dan Rosul-Nya sebagaimana tercantum dalam ayat di bawah ini.


“Katakanlah ‘taatilah Alloh dan Rosul-Nya; jika kalian berpaling maka sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang kafir.’.” (Q.S. 3: 32)


Perintah yang terdapat pada ayat di atas tidak hanya berlaku pada umat-umat terdahulu, tapi berlaku juga sampai sekarang, bahkan sampai akhir zaman. Dari ayat tersebut, bisa disimpulkan bahwa Rosul harus ada dan hidup. Kita harus mendengar ajarannya, terutama sewaktu menjelaskan ayat-ayat Al-qur’an. Selain itu, kita harus mentaati nasihatnya. Lalu, bagaimana mungkin kita mendengar dan taat pada Rosul kalau Rosulnya sendiri tidak ada? Sementara, orang yang tidak taat atau berpaling itu disebut kafir. Bagaimana pula nasib orang yang tidak mengakui keberadaan Rosul-Nya? Oleh karena itu, keberadaan mubaligh atau orang yang menyampaikan risalah atau wahyu Alloh sangat mutlaq dan penting. Hal itu dijelaskan dalam ayat berikut.

“Tiap-tiap umat mempunyai Rosul. Maka, apabila datang kepada mereka, diberikanlah keputusan antara mereka dengan adil dan mereka tidak didzolimi.” (Q.S. 10: 47)


Melihat kenyataan saat ini bahwa jumlah mubaligh tidak sedikit seperti jumlah para Rosul zaman dahulu, sebagai orang yang beriman, kita seharusnnya tidak boleh membeda-bedakan antara yang satu dengan yang lainnya. Kita harus mendengarkan apa yang mereka sampaikan kepada kita dan juga harus menaati mereka. Namun, kita juga harus hati-hati melihat kenyataan bahwa pada zaman dahulu ada Rosul yang tidak amanah karena tidak menutup kemungkinan sampai sekarang masih ada yang mengamalkan ajarannya, bahkan mengajarkannya kepada orang lain. Maka, kita harus berhati-hati terhadap mereka. Bisa saja mereka ada di antara kita.

Untuk mengetahui mubaligh yang memegang amanah atau tidak, tidak ada cara lain kecuali mengamati satu persatu apa yang mereka sampaikan dan apa yang mereka lakukan. Sebagai barometer, kita bisa menggunakan Al-qur’an dan hadits. Bilamana yang mereka sampaikan itu sesuai dengan Al-qur’an dan hadits, mereka harus kita ikuti dan taati. Namun, kalau ajarannya tidak sesuai, mereka tidak perlu kita taati.

Langkah berikutnya adalah melihat apakah mereka mengamalkan ajarannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, apakah dalam mengamalkannya ada perbedaan di antara mereka,.apakah mereka mempunyai pengikut, dan apakah pengikut mereka mempunyai pandangan yang sama atau berbeda serta mempunyai misi yang sama atau berbeda satu dengan yang lainnya? Bila ternyata berbeda, kita harus mencari salah seorang di antara mereka yang betul-betul sesuai dengan Al-qur’an dan hadits baik dalam penyampaiannya maupun dalam pengamalannya. Oleh karena itu, kita harus betul-betul memahami Al-qur’an dan hadits untuk menilai mereka. Bagaimana bisa kita memastikan bahwa mereka itu sesuai atau tidaknya dengan Al-qur’an dan hadits kalau kita tidak mengetahui dan tidak memahami Al-qur’an dan hadits itu sendiri? Bukankah kita harus memutuskan siapakah di antara mereka yang kita angkat menjadi pemimpin atau imam kita sebagaimana yang dilakukan oleh umat terdahulu? Dialah nanti yang akan bertanggung jawab atas segala yang kita lakukan. Dialah yang akan menegur apabila kita bersalah dan dia juga yang akan menyaksikan perbuatan kita karena dia menjadi imam kita dalam melaksanakan pengabdian kepada Alloh swt. sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut. (Q.S. 31: 15)


”Dan, jika keduanya mengajak untuk mempersekutukan-Ku sedangkan kamu tidak menguasai ilmu tentang itu maka janganlah kamu mengikuti keduanya dan pergauilah mereka berdua di dunia ini dengan penuh pengertian dan ikutilah orang yang memberi tahu jalan pengembalian kepada-Ku. Kemudian, hanya kepada-Kulah kalian dikembalikan. Maka, Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu lakukan.”


Ayat tadi menegaskan bahwa kita harus mengikuti orang yang memberi tahu langkah-langkah untuk kembali kepada-Nya. Jelas, dalam hal ini, kita tidak boleh melangkah sendiri, tapi harus ada yang memimpin kita dalam melaksanakan pengabdian kepada Alloh. Dari ayat ini juga kita dapat mengetahui dengan jelas bahwa keberadaan pemimpin adalah mutlaq, dibutuhkan sekali untuk membimbing kita ke jalan yang benar. Dia bertugas menyaksikan apakah perbuatan kita sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh Alloh atau tidak. Kewajibannya adalah menegur apabila kita menyimpang dari aturan-aturan Alloh. Kita juga mempunyai tugas yang sama seperti yang dilakukan oleh Rosul, yaitu saling menyaksikan di antara kita agar kita semua selalu berada di jalan-Nya yang lurus. Dengan demikian, mudah-mudahan, kita akan selamat di dunia maupun di akhirat.

Orang-orang beriman baik laki-laki maupun perempuan harus saling menolong. Harus ada yang mengingatkan di antara mereka. Sebagian dari mereka harus menjadi wali atau pelindung bagi sebagian yang lainnya. Mereka harus saling memperhatikan sesuai dengan yang dijelaskan dalam ayat nerikut. (Q.S. 9: 71)


“Dan, orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh dengan saling mengerti, mencegah dari yang munkar, mendirikan sholat, mendatangkan kebersihan, dan taat kepada Alloh dan Rosul-Nya. Mereka itu akan diberi rokhmat oleh Alloh. Sesungguhnya, Alloh Pemilik keperkasaan dan penghukum.”


Perlu diketahui bahwa tugas imam sebagai saksi bukan hanya di dunia, tetapi nanti pun di akhirat dia diminta persaksian atas perbuatannya. Kita juga akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan kita masing-masing sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut. (Q.S. 16: 89)


“Ingatlah akan hari ketika Kami membangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari golongan mereka sendiri dan Kami datangkan kamu menjadi saksi atas seluruh umat manusia dan Kami telah turunkan kepadamu Al-kitab untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rokhmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”


Dalam ayat yang lain juga dijelaskan sebagai berikut.

71. “Ingatlah pada suatu hari ketika Kami panggil setiap umat bersama imam mereka dan barang siapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya maka mereka akan membaca kitabnya, dan mereka tidak diddzolimi sedikit pun.
72. Dan, barangsiapa yang buta (tidak mengetahui imamnya) di dunia ini maka di akhirat nanti ia akan lebih buta dan lebih sesat jalannya.” (Q.S. 17: 71–72)


Para utusan Alloh yang menyampaikan risalah-Nya, yaitu Rosul-Rosul yang terdahulu juga para mubaligh yang sekarang telah datang. Mereka ada di tengah-tengah kita. Lalu, apakah mereka akan kita jadikan sebagai imam dalam hidup ini untuk menjadi saksi kita kelak atau tidak? Apakah kita mau dibimbing oleh mereka menuju jalan yang benar atau tidak? Apakah kita mau mendengar dan taat atau tidak? Kalau tidak mau, kita harus bisa memberikan alasan yang kuat atas penolakan itu.

Di akhirat nanti, semua manusia termasuk jin mulai dari zaman Nabi Adam sampai generasi terakhir, yaitu generasi Nabi Muhammad, akan membenarkan kehadiran para Rosul saat ditanya tentang mereka. Apabila kita tidak mengindahkan kehadiran mereka karena kesibukan dunia, kita termasuk orang-orang yang kafir dan akan menanggung segala risikonya di akhirat nanti seperti yang tersirat dan dijelaskan dalam ayat di bawah ini. (Q.S. 6: 130)


“Hai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepada kalian Rosul-Rosul dari golongan kalian sendiri yang menyampaikan kepada kalian ayat-ayat-Ku dan memberi peringatan kepada kalian terhadap pertemuan kalian hari ini? Mereka berkata, “Kami menjadi saksi atas diri kami sendiri.“ Kehidupan dunia telah menipu mereka dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir.”


Dari jawaban mereka, yaitu “Kami menjadi saksi atas diri kami sendiri.“ berarti semua manusia dimana pun berada dari generasi Nabi Adam sampai manusia akhir zaman membenarkan kedatangan Rosul tersebut. Kesaksian tersebut juga membuktikan bahwa yang dimaksud di atas bukanlah seorang Nabi, tetapi Rosul atau para mubaligh yang meneruskan perjuangan para Nabi terdahulu. Para mubaligh inilah yang harus kita ikuti dan kita taati karena mereka juga menyampaikan wahyu Alloh dan memberi kabar gembira juga peringatan–peringatan kepada kita, termasuk peringatan tentang pertemuan di waktu kita dimintai pertanggungjawaban atas semua amal yang sudah kita lakukan di dunia.

Alangkah beruntungnya apabila dalam kehidupan beragama, kita dapat mengikuti sunah Nabi, yaitu mengikuti mekanisme yang dilakukan olehnya dalam sunahnya. Nabi berperan sebagai pemimpin dan pembimbing atau pembina dalam beragama yang memberikan pembinaan kepada umatnya. Apabila ada di antara umatnya yang melakukan kesalahan atau berbuat dosa, Nabi akan menegurnya, memberikan peringatan, dan kalau perlu memberikan hukuman kepadanya. Yang memberikan pembinaan atau peringatan bukan hanya Nabi, tapi juga para sahabatnya yang diberi mandat oleh Nabi. Sekalipun begitu umatnya pun harus saling mengingatkan apabila ada kehilafan di antara mereka. Segala permasalahan dikonsultasikan kepadanya dan dicarikan jalan keluarnya. Apa bila di dalam Al-qur’an kita disuruh menaati Alloh dan Rosul-Nya, sebagai orang beriman, mau tidak mau kita harus mengikuti sunahnya. Dengan demikian, kita akan mendapat rokhmat-Nya dan Insya Alloh akan dimasukkan ke dalam syurga dengan segala kenikmatannya.


Simpulan

Jadi, penerus para Nabi adalah para ulama sebagaimana dalam Al-hadits diterangkan “Ulama itu adalah pewaris para Nabi.“ Jadi, jelaslah bahwa ulama bertugas sebagai pembimbing atau pembina dalam kehidupan beragama. Kenyataannya, sekarang ini banyak ulama, kiyayi dan sahabat-sahabatnya yang bertugas untuk menyebarkan Islam dengan cara berdakwah melalui media cetak atau media elektronik. Apakah kita harus mengikuti semuanya? Kita harus memeriksa terlebih dahulu, kita lihat dulu apakah mereka mengikuti aturan Alloh dan sunah Nabi atau tidak. Hal ini dijelaskan dalam ayat berikut. (Q.S. 35: 31-32 )

31. “Dan, apa yang telah Kami wahyukan kepadamu ,yaitu Al-qur’an, itulah yang benar dengan membenarkan kitab-kitab sebelumnya. Sesungguhnya, Alloh memperlihatkan dan memberi tahu terhadap hamba-hamba-Nya.
32. Kemudian, kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami lalu di antara mereka itu ada yang dzolim dan ada juga yang pertengahan, ada juga yang mendahulukan kebaikan dengan idzin Alloh. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.


Ayat tadi menjelaskan kepada kita bahwa yang terpilih untuk menjadi pewaris Al-qur’an bukanlah sembarangan orang, tetapi hanya ulamalah yang terpilih menjadi pewarisnya. Namun, di antara ulama tadi ada yang dzolim, artinya mereka menambah atau mengurangi atau boleh jadi mengganti ayat-ayat Alloh karena disesuaikan dengan keinginan dirinya sendiri. Ada juga ulama yang pertengahan, artinya ulama yang mencampurkan ayat-ayat Alloh dengan kebiasaan atau adat sehingga adat dan kebiasaan itu seolah-olah menjadi syariat beragama. Padahal, tidak ada contoh dari Nabi untuk melakukan syariat tersebut. Ada juga ulama yang benar-benar menjelaskan ayat-ayat Alloh sebenar-benarnya tanpa dikurangi dan ditambah juga dalam melaksanakan syariat beragama sesuai dengan sunah Nabi. Dialah yang benar-benar harus kita ikuti dan kita angkat sebagai pemimpin atau imam dalam beragama.

Lalu, mengapa kita harus mengangkat imam dalam beragama? Ini karena mengangkat imam merupakan perintah Alloh yang termaktub dan dijelaskan dalam ayat berikut. (Q.S. 9: 23–24)


23. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu pemimpin-pemimpin kalian jika mereka lebih mengutamakan kekafiran daripada keimanan. Dan, barangsiapa di antara kalian yang menjadikan mereka pemimpin–pemimpin kalian maka mereka itulah orang-orang yang dzolim.
24. Katakanlah “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tinggal yang kalian sukai adalah lebih kalian cintai daripada Alloh dan Rosul-Nya dan dari jihad di jalan-Nya maka tunggulah sampai Alloh mendatangkan keputusan-Nya dan Alloh tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang kafir.


Ayat di atas menegaskan bahwa kita harus mempunyai pemimpin dalam keagaman. Pemimpin itu haruslah orang yang lebih mementingkan Alloh dan Rosul-Nya daripada dirinya. Di sini juga harus dibedakan antara pemimpin dan Rosul sebab dalam keterangan dijelaskan bahwa kita harus “taat kepada Alloh dan taat kepada Rosul-Nya“. Jadi, kalau seorang pemimpin tidak taat kepada Alloh dan Rosul-Nya, kita pun akan tergolong orang-orang kafir.

Kepemimpinan dalam beragama tidak ubahnya seperti dalam melaksanakan sholat, antara imam dan makmumnya saling melengkapi. Seorang imam memimpin sholat, meluruskan niat, dan meluruskan bacaannya. Sementara, seorang makmum tidak boleh mendahului imam. Jika imam salah dalam pengerjaan sholat, makmum berhak menegurnya. Seorang imam pun jika ditegur oleh makmum tidak boleh merasa menang sendiri. Dia harus sadar terhadap kesalahannya dan akan memperbaiki kesalahan tersebut. Itulah tata cara kepemimpinan Islam.

Selanjutnya, kita kembali kepada pokok permasalahan, yakni syarat pertama: mengabdi kepada Alloh adalah dengan persaksian atau syahadat. Dalam surat Ali Imron dijelaskan bahwa “datang kepada kalian seorang Rosul yang membenarkan apa-apa yang ada pada kalian“ Jadi, sebelum kita mengucapkan dua kalimah syahadat, harus ada dulu yang menjelaskan dan mengajarkan supaya kita mengetahui dan memahami isi dari ketentuan-ketentuan, larangan, perintah, juga petunjuk-petunjuk-Nya. Jangan sampai kita melaksanakan ketidaktahuan. Maka, akan sia-sialah kita mengerjakannya seperti halnya dijelaskan dalam ayat berikut.

“Dan, janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak menguasai ilmunya tentang itu. Sesungguhnya, pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban.” (Q.S. 17: 36)


Dengan memperhatikan ayat ini, jelas kita tidak boleh ikut-ikutan dalam melaksanakan peribadahan. Yang paling utama, kita harus mengetahui ilmunya. Bagaimana kita yakin suatu perbuatan atau pekerjaan itu baik kalau kita hanya melaksanakannya tanpa ilmu? Pasti, dalam melaksanakannya, kita akan penuh keragu-raguan karena merasa tidak menguasai ilmunya.

Perhatikan ayat di bawah ini.


“Dan, sesungguhnya Kami telah sediakan untuk pengisi neraka jahannam itu kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka berhati, tetapi tidak dipakai untuk memahami ( ayat-ayat Alloh ). Mereka bermata, tetapi tidak dipergunakan untuk melihat ayat-ayat Alloh. Mereka bertelinga, tetapi tidak dipergunakan untuk mendengar ayat-ayat Alloh. Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi, mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Q.S. 7: 179)


Kalau kita simak ayat di atas, jelaslah bahwa meskipun kita melakukan amal-amalan yang dianggap baik, kalau hati kita tidak dipakai untuk memahami Al-qur’an, sia-sialah amalan kita karena kita bertindak dan berbuat hanya karena ikut-ikutan. Kalau begitu, kita tidak ada bedanya dengan seekor kerbau yang tidak mempergunakan akal dan pikirannya. Kerbau hanya patuh dan taat kepada pengembalanya. Meskipun akan disembelih, mereka tetap mengikuti sang pengembala. Padahal, mereka akan digiring masuk untuk disembelih.

Demikian halnya kalau kita mengerjakan sesuatu hanya karena ikut-ikutan, jika ditanya kita mengatakan “kata ustadz juga“ tanpa mengerti dan kita tidak mau tahu apakah ustadz itu amanah atau tidak. Untuk membuktikan amanah atau tidaknya, barometernya adalah Al-qur’an. Jadi, kalau kita bertindak atau mengerjakan harus karena Alloh, bukan karena perintah ustadz sebab ustadz tidak memiliki syurga dan neraka.

Jadi, jelaslah bahwa keberadaan ulama mutlaq dibutuhkan untuk menjelaskan segala sesuatunya dan agar kita mengucapkan dua kalimah syahadat dengan penuh pengertian dan penuh tanggung jawab.

Syahadat yang pertama adalah sebagai berikut.

“Aku bersaksi, tiada ilah kecuali Alloh"
Artinya, tiada lagi yang akan aku ibadahi kecuali Alloh, yakni aku tidak akan menurut perintah siapa pun kecuali semua perintah Alloh. Lalu, bagaimana cara kita mengetahui semua perintah, larangan, dan petunjuk-Nya, karena kesemuanya itu ada dalam Al-qur’an, sedangkan kita tidak memahaminya?

Jelaslah di sini bahwa ulama mutlaq diperlukan untuk mengajar dan membimbing juga membina umat agar mereka semua memahami segala yang diperintahkan, segala yang dilarang, juga petunjuk-petunjuk-Nya.

Syahadat yang kedua adalah sebagai berikut.

“Dan, aku bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Alloh.”


Artinya, aku tidak akan mengikuti atau mencontoh kepada siapa pun kecuali aku akan taat patuh dan akan mencontoh perilaku juga sunah-sunah Nabi Muhammad, Rosul Alloh. Bagaimana kita bisa mengikuti dan mencontoh sunah-sunahnya kalau kita tidak tahu dan tidak mengenal perilaku Rosul?

Di sini, mutlaq juga keberadaan ulama dibutuhkan untuk mengajarkan dan menjelaskan sunah-sunah Nabi dan mungkin juga riwayat kehidupan serta perilaku seorang Nabi agar semua umat berperilaku dan berbuat sesuai dengan apa yang telah dicontohkan oleh beliau.


Kalau semua umat sudah mengerti dan memahami isi Al-qur’an dan sunah-sunah Nabi, tidak menutup kemungkinan, umat ini akan menjadi satu dan tidak akan berpecah menjadi beberapa golongan karena seorang ulama yang benar-benar melaksanakan tugasnya sebagai ulama, yaitu membina membimbing umat. Dia tidak akan terpengaruh oleh sesuatu apa pun dan tidak menutup kemungkinan menjadi imam dalam kehidupan beragama. Dia juga tidak sibuk dengan urusan yang lain, tetapi fokus kepada umat supaya umat tidak tergelincir ke dalam jurang neraka. Umat pun kalau sudah mengerti dan sudah paham akan patuh dan taat kepada imamnya karena sang imam sudah mencontoh perilaku seorang Rosul.

Kalau kita sudah berjanji dan sudah mengerti perjanjian tadi, kewajiban kita adalah menepati janji yang telah kita ucapkan tadi. Perhatikan ayat di bawah ini. (Q.S. 16–91)


“Dan, tepatilah perjanjian dengan Alloh apabila kalian berjanji dan janganlah kalian membatalkan sumpah dan janji itu sesudah meneguhkannya, sedang kalian telah menjadikan Alloh sebagai saksi kalian (terhadap sumpah dan janji kalian). Sesungguhnya, Alloh mengetahui apa yang kalian perbuat.”


Merujuk kepada ayat ini, jelaslah bahwa Alloh memerintahkan kita untuk menepati janji, apalagi jika kita bersumpah dan berjanji kepada Alloh. Merupakan satu keharusan untuk menepatinya sebab menurut Q.S. (3: 82), kalau kita sudah berjanji namun tidak ditepati, kita termasuk orang-orang yang fasik, sedangkan menurut Al-Hadits sebagai berikut.

‘An abii hurairota rodioyallohu’anhu: anninnabiyyi qoola: ayyatul munafiqi tsalatsun, idzaa hadatsa kadzaba, waidzaa wa’ada kholafa,waidzaa autaminu khoona.

“Abu hurairoh r.a. berkata: Rosululloh bersabda: tanda orang munafiq ada tiga: Jika bicara ia dusta, jika bejanji menyalahi janjinya, dan jika dipercaya, berkhianat.” (H.R. Bukhori)


Dalam riwayat Muslim, dijelaskan pula sebagai berikut.
“… Meskipun ia puasa, sholat, dan menganggap dirinya sebagai muslim.”

Dengan hadits ini, semakin jelas bahwa meskipun kita melakukan sholat, puasa, dan semua peraturan Islam kita laksanakan, kalau masih ada salah satu dari ciri tadi, kita termasuk golongan orang-orang munafiq.

Ciri kemunafiqan yang pertama adalah jika berbicara berdusta, artinya dalam segala pembicaraan maupun urusan maisyah, dia selalu dusta, menyembunyikan kebenarannya, dan memunculkan yang salah, misalnya seorang negarawan yang selalu mengatakan “demi rakyat, demi negara” Padahal, kenyataannya tidak demikian, kenyataannya ia hanya memperkaya dirinya dan membiarkan rakyat miskin dan negaranya kolep. Inilah yang dikatakan jika berbicara dusta. Contoh yang lain, seorang ulama menyembunyikan kebenaran dan memunculkan yang bathil karena takut kehilangan umat.
Ciri yang kedua adalah jika berjanji, dia tidak pernah menepatinya, seperti halnya kita sudah berjanji bahwa akan beribadah kepada Alloh dan akan mengikuti sunah Nabi, tapi pada kenyataanya, kita selalu mengikuti keinginan hawa napsu dan selalu mengikuti adat serta kebiasaan ajaran-ajaran nenek moyang kita terdahulu yang tanpa ada contoh dan sunahnya dari Nabi.

Ciri yang ketiga adalah jika dipercaya, selalu khianat, seperti halnya kita sudah dipercaya sebagai seorang muslim dengan melaksanakan sholat, puasa, dan sebagainya, tapi kenyataan perilaku dan sepak terjang kita seperti yahudi dan nasoro, yakni selalu berlaku curang, selalu menyombongkan diri, dan selalu merusak di muka bumi ini. Demikianlah ciri-ciri kemunafiqan yang harus hilang dari perilaku kita sebagai muslim dan muslimat.

Maka dari itu, sangat dibutuhkan keberadaan ulama untuk menjelaskan dan menerangkan segala sesuatu yang termaktub dalam Al-Qur’an, terutama aturan-aturan dan hukum-hukum juga ancaman-ancaman yang tertera dalam Qur’an. Ini dimaksudkan agar umat mengerti akan kewajibannya sebagai seorang muslimin dan muslimat.

Sholat












Syarat kedua dalam beragama Islam adalah mendirikan Sholat. Orang-orang yang beriman diperintahkan Alloh untuk melaksanakan sholat seperti tercantum dalam ayat berikut. (Q.S. 2: 43)


“Dan, dirikanlah sholat juga datangkanlah kebersihan, berukuklah bersama orang-orang yang rukuk.


Ayat ini menegaskan kepada kita bahwa sesungguhnya orang-orang yang mengaku dirinya beragama Islam harus mendirikan sholat, yakni melaksanakan sholat yang sudah ditentukan rukuk dan sujudnya. Sholat juga diperintahkan Alloh kepada Rosul-Rosul terdahulu. Dengan kata lain, perintah sholat bukan hanya ditujukan kepada Nabi Muhammad, tapi juga kepada Nabi sebelumnya. Simaklah ayat berikut ketika Nabi Isa ditanya dan menjawab. (Q.S. 19: 30–31)



30. “Berkata Isa: "Sesungguhnya Aku Ini hamba Allah. Dia memberiku Al Kitab dan Dia menjadikan Aku seorang Nab.
31. Dan, Dia menjadikan Aku seorang yang diberkati di mana saja Aku berada dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) sholat dan mendatangkan kebersihan selama aku masih hidup.”


Ayat-ayat di atas membuktikan bahwa Nabi dan Rosul terdahulu juga melaksanakan sholat. Mereka juga bersujud dan berukuk seperti halnya kita melaksankan sholat. Jadi, sholat adalah ajaran terdahulu, yakni ajaran para Nabi dan para Rosul yang harus kita laksanakan dan kita patuhi.
Sekarang marikita simak lagi ( Qs 3: 42 – 43 )



42. Dan (Ingatlah) ketika malaikat berkata: "Hai Maryam, Sesungguhnya Alloh Telah memilih kamu, mensucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia .
43. Hai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu, sujud dan ruku'lah bersama orang-orang yang ruku'.

Ayat ini semakin menegaskan kepada kita jangankan Nabi Isa sedangkan Ibunyapun Mariam diperintahkan untuk melaksanakan Sholat yakni bersujud dan beruku ini membuktikan bahwa perintah sholat sudah datang sejak jaman dahulu untuk membuktikan ketaatan hambanya .

Dalam melaksanakan sholat, harus mengerti dahulu tata caranya, jangan hanya ikut-ikutan sebab kalau hanya ikut-ikutan, sholatnya belum dikatakan benar. Hal ini tercantum dalam ayat berikut. (Q.S. 4: 43)


“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati, sholat sedangkan kalian dalam keadaan mabuk sebelum kalian mengerti apa yang kalian katakana. Jangan pula kalian mendekati tempat sujud, sedang kalian dalam keadaan junub terkecuali sekadar berlalu saja sebelum kalian mandi. Dan, jika kalian sakit atau dalam keadaan musafir atau kembali dari tempat buang air atau telah saling bersentuhan dengan perempuan kemudian kalian tidak menemukan air, bertayamumlah kalian dengan tanah yang baik, sapulah muka kalian dan tangan kalian. Sesungguhnya, Alloh pemaaf dan pengampun.


Menurut ayat ini, diserukan kepada orang yang beriman “janganlah kalian mendekati sholat, sedangkan kalian ada dalam keadaan mabuk.“. Mari kita perhatikan, mungkinkah orang yang beriman mabuk dalam artian mabuk minum-minuman keras? Apakah masih dikatakan orang beriman jika kita mabuk dalam artian meminum-minuman keras? Tak mungkin dikatakan orang beriman jika melanggar apa-apa yang dilarang oleh Alloh, sedangkan mabuk-mabukan dan minum-minuman keras itu dilarang Alloh. Lalu, mengapa ayat ini masih memanggil “Hai orang-orang yang beriman“? Itu berarti mabuk di sini bukan mabuk minuman keras, tetapi kita lihat kelanjutan ayat itu, “sehingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan“. Jadi, jelas yang dikatakan mabuk di sini adalah orang-orang yang tidak mengerti apa yang dia ucapkan, bukan tidak tahu terjamahannya, tetapi tidak tahu makna ucapannya.

Contoh: Seorang anak TK menyanyikan lagu yang liriknya sebagai berikut: Satu-satu aku sayang ibu, dua-dua aku sayang ayah, tiga-tiga sayang Adik kakak, satu dua tiga sayang semuanya.


Setelah melantunkan syair lagu tadi, dia dimintai uang oleh adiknya untuk jajan, tapi mereka malah bertengkar. Dia juga malah membuat jengkel orang tuanya dengan terus-terusan meminta uang jajan . ini terjadi karena dia tidak mengerti maksud dan tujuan lirik yang dia ucapkan serta pengertian sayang itu sendiri.

Dalam ayat tadi juga dikatakan, “Jangan mendekati tempat sujud jika kalian dalam keadaan junub kecuali hanya lewat.“ Ini menerangkan bahwa jika dalam keadaan junub, kita tidak boleh mendekati atau duduk di tempat sujud (masjid atau mushola) kecuali hanya lewat, terutama jika wanita-wanita yang sedang haid. Mereka tidak boleh duduk di masjid atau di mushola. Meskipun mereka mengenakan pengaman yang menjamin darah haid tidak akan bocor, tetapi jelas wanita itu dalam keadaan junub. Maka, larangan itu berlaku kecuali hanya sekadar lewat jika ada keperluan, misalnya memanggil suami atau anaknya yang berada di masjid tersebut.

Lalu, kita kembali lagi pada masalah sholat. Yang dimaksud mabuk di sini adalah tidak mengerti maksud dan tujuan ucapan-ucapan yang ada dalam sholat, yakni dari mulai takbirotul ikhrom sampai dengan mengucapkan salam. Kalau kita perhatikan, dalam sholat tadi ada makna pendidikan yang sangat tinggi, tersirat ajaran-ajaran yang sangat mendalam sehingga menghasilkan akhlak yang mulia. Pantas saja ada hadits yang mengatakan “Yang pertama-tama amal yang akan ditanya adalah sholat sehingga jika sholatnya baik maka baiklah semua amalnya, jika jelek maka jeleklah semua amal-amalannya.“. Jadi, yang pertama ditanya adalah amal sholat, bukan rukuk dan sujudnya, tetapi amal setelah itu sehingga sholat itu akan membangun akhlak yang sesuai dengan yang tersirat dalam ayat berikut. (Q.S. 29: 45)



“Bacalah apa-apa yang telah diwahyukan kepadamu dari kitab dan dirikanlah sholat. Sesungguhnya, sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar dan sesungguhnya mengingat Alloh itu lebih besar (lebih utama daripada pekerjaan-pekerjaan yang lain). Dan, Alloh mengetahui apa-apa yang kalian kerjakan.”


Ayat ini menegaskan bahwa sesungguhnya hanya dengan sholatlah orang akan mampu mencegah perbuatan keji dan munkar. Hanya dengan sholatlah, orang akan mengingat Alloh. Berarti, sholat mengandung kekuatan tersendiri sehingga menghasilkan akhlaq yang demikian mulianya. Berarti juga jelas sholat itu mengandung ajaran-ajaran yang dalam sehingga menghasilkan perilaku yang baik.

Perhatikan ayat berikut. (Q.S. 70: 21–23)


21. “Dan, apabila dia mendapatkan kebaikan dia, itu kikir
22. kecuali orang-orang yang mengerjakan sholat.
23. Dan, dia tetap mengerjakan sholatnya.”


Ayat ini juga menegaskan kepada kita bahwa orang yang selalu mengerjakan sholat akan bersifat dermawan dan tidak akan kikir. Jadi, jelas dalam sholat terdapat pendidikan sehingga menghasilkan manusia-manusia yang dermawan.

Mari kita simak ayat berikut. (Q.S. 5: 12)



“Dan, sesungguhnya Alloh telah mengambil perjanjian terhadap Bani Isroil dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin dan Alloh berfirman ‘Sesungguhnya, Aku bersama kalian jika kalian mendirikan sholat dan mendatangkan kebersihan serta kalian beriman kepada Rosul-Rosul-Ku dan kalian membantu mereka dan kalian menabung kepada Alloh dengan tabungan kebaikan. Sesungguhnya, Aku akan menghapuskan dosa-dosa kalian dan sesungguhnya kalian akan Kumasukkan ke dalam syurga yang sungai-sungai mengalir di bawahnya. Dan, barangsiapa yang kafir di antara kalian sesudah perjanjian itu maka sesunguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus.”

Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa dengan mendirikan sholat, kita akan selalu bersama Alloh dan jika kita menabung dengan cara berbuat kebaikan, kebaikan itu akan menghapuskan dosa. Jika dosa-dosa kita terhapuskan, jelas kita akan menjadi penghuni syurga. Jika kita mengerjakan sholat, Alloh akan menyertai kita. Coba bayangkan jika Alloh selalu menyertai kita, mungkinkah akan ada kesusahan atau kebingungan?

Contoh: Saat kita sedang dalam perjalanan jauh bersama majikan, pada saat lapar majikan mengajak kita makan, apakah kita akan khawatir dan akan kesulitan untuk membayar makanan yang kita makan? Secara jujur, kita akan mengatakan tidak karena semua makanan yang kita makan akan dijamin pembayarannya oleh majikan.


Contoh ini menegaskan kepada kita bahwa jika kita berjalan dengan majikan, kita akan tenang, apalagi jika kita selalu berjalan bersama Alloh. Sementara, Alloh pemilik segalanya. Kita tidak perlu merasa khawatir dan gelisah karena kita dijamin Alloh dan karena Alloh selalu menyertai kita. Itulah jaminan untuk orang yang mengerjakan sholat dengan benar.

Ayat ini juga menjelaskan bahwa jika kita tidak mendirikan sholat, perbuatan baik apa pun yang kita lakukan tidak akan termasuk perbuatan baik meskipun perbuatan itu pada pandangan manusia baik, misalnya kita menolong sesama manusia. Apabila kita tidak mendirikan sholat, perbuatan itu akan tertolak dan jelas kita akan menjadi penghuni neraka jahannam. Jadi, syarat untuk mengerjakan amal baik adalah mendirikan sholat terlebih dahulu. Sholat merupakan syarat mutlak untuk meraih nilai amal sholeh.

Mari kita simak ayat di bawah ini. (Q.S. 62: 9–10)


9. “Hai orang-orang yang beriman, jika kalian diseru untuk menunaikan sholat jum’at maka bergegaslah kalian mengingat Alloh dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengerti.
10. Apabila telah ditunaikan sholat maka berikhtiarlah kalian di muka bumi ini dan carilah karunia Alloh dan ingatlah Alloh sebanyak-banyaknya supaya kalian beruntung.


Ayat ini menegaskan kepada kita bahwa dengan sholat orang akan selalu ingat kepada Alloh. Dalam melakukan usaha apa pun kalau kita ingat kepada Alloh, semua usahanya akan menghasilkan keuntungan. Jadi, sholat mengandung pendidikan dan merupakan satu sarana untuk mendekatkan diri kepada Alloh.

Melihat ayat-ayat di atas, jelaslah bahwa makna sholat sangatlah dalam sehingga akan menghasilkan seorang hamba yang patuh dan ta’at kepada Tuhannya, akan menjadikan manusia-manusia yang tangguh dalam menghadapi segala permasalahan yang dihadapannya, bukan melahirkan manusia-manusia yang cengeng dan mudah putus asa. Demikian makna yang tersirat dalam sholat.

Untuk melaksanakan sholat, kita harus bersih dari junub. Kalau masih dalam keadaan junub, kita diharuskan untuk mandi terlebih dahulu setelah syarat yang kedua, yaitu berwudlu. (Q.S. 5: 6)


“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan sholat maka basuhlah muka kalian dan tangan kalian sampai sikut dan usaplah kepala kalian dan kaki kalian sampai mata kaki dan jika kalian dalam keadaan junub maka mandilah dan jika kalian sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan lalu tidak menemukan air, bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih), sapulah muka kalian dan tangan kalian dengan tanah. Alloh tidak hendak menyulitkan kalian, tetapi hendak membersihkan kalian dan hendak menyempurnakan nikmat-Nya bagi kalian supaya kalian bersyukur.”


Ayat ini mengandung makna bahwa kita harus melaksanakan perintah Alloh dalam keadaan bersih dan suci dari najis. Selain badan, tempatnya pun harus bersih dan suci. Pakaian yang kita kenakan pun harus menutup semua aurat, bersih, dan suci. Kita pun harus menghadap kiblat saat melaksanakan sholat. Aturan ini jelas tidak bisa ditolak, suka atau tidak suka, tetap harus diikuti.

Contoh: Pakaian sholat semua manusia sama, tidak mengenal bangsa juga adat dan tidak mengenal cuaca. Meskipun cuaca panas, perempuan harus berpakaian tertutup sehingga menutupi aurat.


Ini mengandung makna bahwa orang-orang yang beriman harus berpakaian sesuai dengan ketentuan Alloh. Laki-laki atau perempuan sama, mereka harus memenuhi kriteria yang sudah ditentukan. Berpakaian seperti itu membuktikan bahwa kita adalah manusia yang beriman. Sementara, orang yang berpakaian semau gue dan seenaknya dikategorikan dan digolongkan kepada manusia-manusia kafirin. Jadi, pada dasarnya, melaksanakan perintah Alloh harus sesuai dengan aturan-aturan yang sudah ditentukan Alloh. Kita tidak boleh membuat aturan baru, misalnya aturan yang berdasarkan adat istiadat suatu daerah..

Untuk menjaga kekhusukan kita dalam melaksanakan sholat, diperlukan satu pengorbanan dengan selalu melakukan atau mengerjakan sholat pada tempatnya, misalnya di masjid atau kita membangun mushola di rumah. Hendaknya, kamar tidak lebih besar dari mushola. Di mushola, kita siapkan pakaian khusus untuk sholat.

Contoh: Seorang kerabat dekat mengadakan walimahan dengan mengundang beberapa kerabat yang lainnya. Mereka datang dengan pakaian-pakaian khusus untuk undangan, sedangkan kita memakai pakaian olah raga. Akankah kita khusuk pada acara walimahan tadi? Lalu, saat acara makan, akankah kita khusuk saat makan sementara kita memakai baju yang tidak sesuai dan tidak sama dengan yang lain? Secara jujur, mungkin kita akan mengatakan tidak dan mungkin akan lekas pulang karena merasa malu terhadap tamu yang lain. Kita juga akan dinilai tidak menghormati tuan rumah.


Dari contoh tadi, jelaslah bahwa pakaian saja bisa membuat kita tidak khusuk dan dikatakan tidak menghormati. Dalam adat pergaulan sehari-hari, ada peraturan dan kita harus mengikuti dan mempersiapkannya: pakaian untuk kerja, pakaian untuk olah raga, pakaian untuk undangan, dan pakaian-pakaian yang lainnya. Yang paling penting, kita tidak boleh lupa menyediakan pakaian khusus untuk sholat yang bersih, baik, dan wangi. Saat membangun rumah pun kita tidak boleh lupa menyediakan ruang untuk mushola. Kadang, kita melupakannya. Padahal, kita sudah berjanji untuk mengabdi kepada Alloh. Sementara, tempat pengabdian kepada Alloh sendiri tidak dipersiapkan. Bagaimana bisa kita membuktikan bahwa kita adalah hamba Alloh kalau demikian? Oleh karena itu, sebaiknya hamba-hamba Alloh menyediakan mushola di dalam rumahnya lengkap dengan segala keperluannya yang bersih.

Dalam melaksanakan sholat, ada beberapa rukun yang tidak boleh ditinggalkan. Berikut akan diuraikan satu per satu.

1. Mengucapkan taqbir sambil mengangkat kedua tangan sama tingginya. Hal ini sesuai dengan Al hadits berikut.

‘An’abdillaahibni ‘umaro rodiyallohu’anhumaa an Rosulullohi kaana yarfa’u yadaihi hadzwamankibaini idzaa aftatahisholaata wa idzaa kabbaro lirukuu’I wa idzaa rofa’a ro-suhu minarrukuu’I rofa’haa kadzaalika aidhoo waqoola sami’alloohu liman hamidahu wa kaana laa yaf’al dzaalika filsujuudi

“Diriwayatkan dari Abdulloh bin Umar r.a. bahwa ketika melihat Rosululloh mengangkat kedua tangannya setinggi kedua pundaknya, begitu pula ketika bertaqbir hendak ruku’ dan ketika mengangkat kepala pada saat ruku’ dengan mengucapkan ‘Sami Alloh hu liman hamida hu’, Rosululloh tidak mengangkat tangan ketika sujud.” (H.R. Bukhori)

Hadits ini menegaskan kepada kita bahwa sholat dimulai dengan membaca taqbir sambil mengangkat kedua tangan setinggi kedua pundak. Ucapan “Allohu akbar“ menyatakan bahwa Allohlah yang memiliki kebesaran dan kita adalah do’if. Kita kecil di hadapan Alloh. Pernyataan ini mengandung arti bahwa sesungguhnya kita tidak boleh sombong, tidak boleh tinggi hati. Mengangkat kedua tangan berarti penyerahan diri sepenuhnya kepada Alloh juga penyerahan diri sepenuhnya terhadap hukum-hukum-Nya.
Aturan dan tata cara melaksanakan sholat sama untuk semua golongan. Si kaya, si miskin, pejabat, ataupun rakyat mengucapkan kalimat yang sama dan menggerakan tangan dengan sama, tidak berbeda. Ini mengandung makna bahwa sesungguhnya di hadapan Alloh, manusia sama. Di hadapannya, kita tidak dibedakan dari kasta dan kedudukan. Jadi, seandainya setelah mengerjakan sholat, seseorang masih sombong, masih membedakan kedudukan, dan masih merasa dirinya lebih dari yang lain, sholatnya dilakukan dalam keadaan mabuk. Ia tidak mengerti apa yang diucapkannya.


2. Membaca Fatihah


‘An ‘ubaadatabnishoomiti rodiyallohu’anhu anna rosuulullohi qoola laashoolaata liman lam yaqro-u bifaatihatilkitaabi.


“Diriwayatkan dari Hubdah bin Ash-samit r.a. bahwa Rosululloh pernah bersabda, ‘Tidak sah sholatnya orang yang tidak membaca fatihah.’“. (H.R. Bukhori)


Al-Hadits ini menegaskan bahwa bacaan yang merupakan rukun dalam sholat adalah surat Al-Fatihah. Dengan kata lain, kita diharuskan mengerti kandungan surat Fatihah sebagaimana tercantum dalm ayat di bawah ini.(Q.S. 15: 87)



“Dan, sesungguhnya telah Kami turunkan kepadamu tujuh ayat yang dibacakan berulang-ulang karena bacaan itu agung.”


Dengan menyimak ayat ini, jelaslah bahwa surat fatihah diturunkan dan dibacakan secara berulang-ulang. Maksudnya dibacakan adalah bukan dibacakan saja, tetapi diajarkannya secara berulang. Ini karena menurut qaol ulama, di dalam fatihah terdapat kumpulan makna dari 30 juz dalam Al-Qur’an. Ada juga yang mengatakan bahwa fatihah adalah umul kitab. Maka, jelaslah bahwa fatihah mengandung makna yang sangat dalam sehingga merupakan rukun sholat. Dan, tidak sah sholat tanpa bacaan suratul fatihah.

Mari kita simak cuplikan ayat yang mengatakan Uyyaka na’budu yang terjamahannya “Hanya kepada Engkaulah kami beribadah.“ Ini berarti bahwa kami akan mengabdi hanya kepada Alloh, bukan kepada siapa-siapa. Secara tidak langsung, ini merupakan satu pernyataan bahwa sesungguhnya hanya Allohlah majikan kami. Jadi, yang akan diturut dan dipatuhi perintah dan larangannya hanyalah perintah dan larangan Alloh. Jadi, orang yang mengerti, setelah mengerjakan sholat akan melaksanakan segala sesuatunya sesuai dengan perintah Alloh, bukan bergerak atas hawa napsunya. Inilah inti kalimat “Iyyaa Ka na’ budu“.

Cuplikan berikutnya berarti Wiyyaka nasta’inu “Hanya kepada Engkaulah kami minta pertolongan“. Artinya, hanya Allohlah pemilik pertolongan. Jadi, kita tidak bisa meminta pertolongan kepada siapa pun dalam melaksanakan peribadatan. Kita hanya bisa dan boleh meminta pertolongan Alloh. Jelasnya, kita tidak bisa mempergunakan hukum-hukum sendiri dalam melaksanakan peribadahan kepada Alloh, melainkan hanya melalui hukum-hukum-Nya. Jadi, melaksanakan sesuatu peribadahan harus sesuai dengan perintah–Nya, yakni hukum-hukum yang tertera dalam Al-Qur’an. Dengan kata lain, kita harus mengerti isi dan kandungan Al-Qur’an.

Rukun sholat diakhiri dengan mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri. Ini mengandung arti bahwa orang muslim harus baik kepada siapa pun dalam hablum minannas atau dalam hubungan kemanusiaan. Orang-orang muslim selalu baik kepada golongan kanan atau golongan kiri karena mereka semua makhluk Alloh. Hal ini sesuai dengan ayat di bawah ini. (Q.S. 25: 63)



“Dan, hamba-hamba Tuhan yang Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.”

Inilah sikap yang harus dimiliki oleh hamba-hamba Alloh. Jadi, kalau seandainya orang-orang yang telah melaksanakan sholat tidak berwatak demikian, sia-sialah sholatnya. Ia tidak akan mendapatkan pahala, melainkan mendapatkan adzab dari Alloh.

Sholat pun mengajarkan kepada kita keselarasan dalam kehidupan sehari-hari, yakni mendidik kita untuk selalu berjamaah, selalu bersama, tidak saling mendahului dan selalu mendengarkan komando ketika imam sujud. Semua makmum harus patuh dan taat dalam mengikuti gerakan imam. Tidak ada perbedaan antara yang kaya dan yang miskin, yang pintar dan yang bodoh. Semua serentak dalam satu irama yang sama. Ketika imam salah, seorang makmum yang tahu mengingatkan dengan bahasa yang lembut dengan ucapan “Subhanalloh“ dan imam dengan sadar hati mengakui kesalahannya. Dia tidak pernah melihat ke belakang untuk mengetahui yang mengingatkan tadi si kaya atau si miskin, anak-anak atau orang tua. Yang penting, dia tahu bahwa imam salah dan tidak ada niat dalam diri makmum untuk menggantikan posisi imam tadi. Dia memperingatkan dengan sepenuh hati dan karena Alloh, bukan karena mengharap pujian atau apapun. Inilah pendidikan yang harus kita terapkan dalam keseharian baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam bernegara.

Seorang pemimpin harus mengarahkan yang dipimpinnya ke jalan yang benar. Lalu, ketika pemimpin itu keluar dari jalannya, rakyat wajib memberi tahu agar dia kembali ke jalan yang benar. Seorang pemimpin pun jika diingatkan jangan merasa paling benar. Dia harus menyadari bahwa tidak mungkin rakyat menegur jika dia tidak keluar dari jalur kepemimpinannya. Rakyat pun hendaknya memperingatkan dengan baik, bukan dengan hujatan-hujatan dan bukan karena ingin mengganti kedudukan pemimpin tadi, tetapi demi terwujudnya negara yang aman dan makmur.

Dalam kehidupan keluarga, seorang suami sebagai seorang pemimpin harus mau dikoreksi oleh rakyatnya, yakni oleh anak dan istrinya. Jika keluar dari aturan-aturan Alloh dan Rosulnya, anak dan istri mempunyai hak untuk mengingatkan pemimpinnya dan seorang pemimpin harus menyadari kesalahannya. Dia hjarus memperbaikinya dan meminta maaf atas kesalahnnya. Rakyat (anak dan istri) harus mengikuti arahan-arahan pemimpinnya selama masih dalam jalan yang benar. Inilah hikmah sholat. Jika hal ini dilaksanakan, alangkah indahnya dan alangkah tentramnya kehidupan kita sehari-hari.

Melaksanakan sholat adalah ketentuan Alloh yang ditentukan waktunya sesuai dengan ayat di bawah ini. (Q.S. 4: 103)


“Maka, apabila kalian telah menyelesaikan sholat, ingatlah Alloh di waktu berdiri, di waktu duduk, dan di waktu berbaring. Kemudian, apabila kalian telah merasa aman maka dirikanlah sholat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya, sholat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”


Ayat ini menegaskan kepada kita bahwa sesungguhnya sholat tidak bisa ditinggalkan sebagaimana diperintahkan, “Dan, ingatlah Alloh di waktu berdiri, di waktu duduk, di waktu berbaring.“ Ini menandakan bahwa dalam keadaan apa pun, kita tidak boleh meninggalkan sholat meskipun hanya bisa dengan berdiri saja, hanya bisa dengan duduk saja, ataupun hanya bisa dengan berbaring. Ini makna yang tersirat dalam ayat ini. Mengapa dinisbatkan kepada sholat ingat di sini.? Sebab ayat yang berikutnya mengatakan. “Kemudian, setelah kalian merasa aman maka dirikanlah sholat.“
Adapun waktu-waktu yang telah ditentukan Alloh dalam melaksanakan sholat sebagai berikut. (Q.S. 17: 78)



“Dirikanlah sholat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula sholat) subuh. Sesungguhnya, sholat subuh itu disaksikan.”
Kita simak juga ayat berikut. (Q.S. 11: 114)



“Dan, dirikanlah sholat itu pada kedua tepi siang dan pada bagian permulaan dari pada malam. Sesungguhnya, perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.”


Simak pula ayat berikut. (Q.S. 30: 17–18)



17. “Maka, sucikanlah Alloh di waktu kalian berada di petang hari dan waktu kalian berada di waktu subuh.
18. Dan, milik-Nyalah puji itu di langit dan di bumi dan di waktu kalian berada pada waktu Isya dan di waktu kalian berada di waktu Dzuhur.”


Dalam ayat ke-17, dikatakan bahwa “Sucikanlah Alloh.“. Di sini, maksudnya harus benar-benar hanya Alloh yang ada pada hati kita. Dengan kata lain, kita harus benar-benar mengingat Alloh, yakni ingat akan perintah Alloh karena pada waktu-waktu tertentu ada perintah untuk mendirikan sholat.
Ayat-ayat di atas menegaskan bahwa sholat terbagi dalam waktu-waktu yang telah ditentukan Alloh. Jadi, kita tidak bisa sembarangan melaksanakan sholat karena sudah ditentukan waktunya.

Adapun waktu waktu sholat menurut Al-Hadits adalah sebagai berikut.

‘An muhammadibni ‘amri. Qoola: lammaa qodimalhajjaahul madiinata , fasa-alanaa jaabiirubnu ‘abdillaahi.? Faqoola: kaana rosuululloohi yushollidluhro bilhaajirota, wal’ashri wasyamsu nariyatan, walmaghriba waidzaa wajabat, wal ‘asyaa-a ahyaanaa yu-akhruhaa wa ayaanaa yu’ajjalu, kaana idzaa roohum qodijtama’uu, ‘ajjala, waidzaa roohum qod abthou-uu akhorro, washubha kaanuu,au qoola: kaananNabiyyu yushollaihaa bifalasi akhorjahalkhooro.

“Diriwayatkan dari Muhammad bin Amru, ia berkata: Ketika jamaah haji sampai di Madinah, kami bertanya kepada Jabir bin Abdulloh r.a.. Kata Jabir: Rosululloh senantiasa melakukan sholat Dzuhur ketika matahari condong sedikit ke barat, salat Ashar ketika matahari masih bersih (belum merah), sholat Magrib ketika matahari telah terbenam, sholat Isya kadang-kadang beliau mengakhirkannya. Apabila beliau melihat orang-orang telah berkumpul maka beliau menyegerakan sholat Isya dan apabila beliau melihat orang-orang lambat maka beliau mengakhirkannya menurut kondisi mereka atau kata Jabir bin Abdulloh, Nabi biasanya mengerjakan sholat Shubuh ketika hari masih gelap.” (H.R. Bukhori–Muslim)


Hadits ini mengisaratkan kepada kita bahwa waktu sholat Shubuh pada saat masih gelap, yakni pada saat terbit fajar atau keadaan masih gelap


Waktu sholat Dzuhur tercantum dalam hadits berikut..


‘An khobaaba rodiyallohu’anhu qoola: atainaa Rosulullohi, fasyakuuna ilaihi harorrorromdhoo-I, falam yusykina. Qoola zuhairu: qultu liabii ishaaqo: afiidldluhhri.? Na’am, qultu: afii ta’jiiliha.? Qoola: na’am.

“Diriwayatkan dari Khabbab r.a., ia berkata: Kami datang kepada Rosululloh lalu kami mengadu mengenai teriknya matahari, namun beliau tidak menerima pengaduan kami (untuk penundaan waktu DDzuhur). Kata Zuhair: Saya bertanya kepada Abu Ishak. “Apakah sudah DDzuhur?“ Dia menjawab, “Ya“ Saya bertanya lagi, “Apakah segera lakukan sholat?” Dia menjawab “Ya“.” (H.R. Muslim)


Hadits ini menerangkan waktu Dzuhur adalah setelah tergelincir matahari, yakni dari tengah-tengah atau ketika matahari di atas kepala, menggelincir sedikit ke barat. Maka, saat itu adalah saat masuk waktu sholat Dzuhur.

Sementara itu, waktu masuknya sholat Ashar dijelaskan dalam hadits berikut..


‘An annasibni maaliki rodiyallohu’anhu, Rosululloohi kaana yusholliil’ashri wasyamsu murtafi’atun, fayadzhabuldzahibu ilal’awwaalii faya-tilawaaliya wasyamsu murtafi’atun.

“Diriwayatkan dari Annas bin Malik r.a., bahwasannya Rosululloh melakukan sholat Ashar ketika matahari masih tinggi dan panas kemudian seseorang pergi ke puncak yang tinggi lalu sampai disana pun matahari masih tinggi.” (H.R. Bukhori-Muslim)


Hadits ini menyatakan bahwa waktu sholat Ashar ketika matahari masih di atas atau ketika matahari tergelincir dan masih di atas, yakni ketika bayangan seseorang sama tingginya dengan orang tadi. Maka, pada saat itu sudah masuk waktu Ashar.

Waktu masuk sholat Magrib dijelaskan dalam hadits berikut.


‘An salamatabnilakwaa’I roduyallohu’anhu, Anna Rosululloohi. Kaana yushollilmaghribi idzaa ghorobatisysyamsu watawaarotun.

“Diriwayatkan dari Salamah binti Al-akwaa, r.a. bahwasannya Rosululloh biasa melakukan sholat Maghrib setelah matahari terbenam dan tidak tampak.” (H.R. Bukhori-Muslim)

Hadits ini menerangkan kepada kita bahwa waktu sholat Maghrib adalah setelah masuk matahari dan matahari tersebut sudah tidak terlihat. Yang jelas, waktu sholat Magrib adalah ketika kita sudah tidak membedakan warna putih dan hitam. Ada juga keterangan yang menerangkan bahwa waktu sholat Magrib apabila kita melemparkan anak panah dan anak panah tersebut tidak bisa terlihat jatuhnya Itulah saat sholat Magrib.

Waktu sholat Isya menurut Al-hadits sebagai berikut.


‘An‘aisyatarodiyalloohu’anhaaqoolat:a’tamanNabiyyu, dzaata lailata hattaa dzahaba ‘ammatu laili, wa hattaa naama ahlulmasjidi,tsumma fasholla, faqoola: innahu lawaqtuhaa, laulaa anna asyuqo ‘alaa ‘ummatii.

“Diriwayatkan oleh Aisyah r.a. ia berkata: Pada suatu malam, Nabi lambat keluar untuk sholat Isya hingga sebagian malam telah berlalu dan orang-orang di masjid sudah tidur. Kemudian, beliau keluar untuk sholat Isya lalu beliau bersabda: “Sebenarnya, inilah waktu jamaah sholat Isya yang utama kalau aku tidak khawatir memberatkan umatku.“ (H.R. Bukhori-Muslim)

Hadits ini menerangkan bahwa sholat Isya baik dilaksanakan sebelum memasuki tengah malam. Hadits ini juga menerangkan bahwasan masjid diperbolehkan untuk dipakai tidur karena sebagian orang ada yang melarang masjid dipakai tidur. Kalau tidur di masjid, orang tidak akan mungkin terlambat sholat Shubuh.


Waktu Sholat subuh menurut Al-hadits


‘An anaasi rodiyallohu’anhu: Anna zaidabni tsaabiti rodiyalloohu ‘anhu haddatsahu: Annahum nasahharuu ma’annabiyyii tsumma qoomuu ilaa shsholaati: Qultu: Kam kaana bainahumaa.? Qoola: Qodru khomsiina au sittiina ya’nii ayatan.

Diriwayatkan dari Anas .ra. bahwa Zaid bin tsabit mengatakan kepadanya: Para sahabat makan sahur bersama Nabi,kemudian mereka melaksanakan sholat subuh. Saya bertanya:Berapa jarak waktu antara makan sahur dengan sholat subuh.? Zaid bintsabit menjawab. Kira-kira bacaan 50 atau 60 ayat. ( H.R.Bukhori )

Demikianlah waktu-waktu sholat yang telah ditentukan Alloh. Adapun alasan sholat Isya tidak boleh melewati tengah malam adalah karena di waktu itu ada perintah lain. Lebih jelasnya, kita simak ayat berikut. (Q.S. 17: 79)



“Dan, pada sebagian malam hari bertahajudlah kamu Nafilatan bagimu; Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.”


Ayat ini mengatakan bahwa di malam hari ada sholat lain selain Isya, yakni Tahajjud. Maka, sholat Isya tidak boleh diakhirkan hingga melewati waktu tengah malam.

Lalu, apa pahala (balasan) bagi orang-orang yang mengerjakan sholat? Simaklah ayat berikut. (Q.S. 23: 8–11)



8. “Dan, orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya
9. dan orang-orang yang memelihara sholatnya,
10. mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi,
11. (yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.”


Inilah balasan bagi orang-orang yang memelihara sholatnya, yakni mewarisi syurga dan akan kekal di dalamnya. Aadapun memelihara di sini bukan hanya melaksanakan rukuk dan sujud, tapi jelas setelah melaksanakan rukuk dan sujud, dia mampu memelihara ketaatannya kepada Alloh dan Rosul-Nya. Ia mengerti dan bertanggung jawab akan sholatnya. Jadi, orang-orang yang memelihara sholatnya adalah orang-orang yang tidak melaksanakan kemungkaran dan tidak melaksanakan kekejian sesuai dengan pesan moral yang tersirat dalam sholat tadi. Perhatikan Al-Hadits berikut.


‘An‘abdillahibnilas’uudirodiyallohu’anhu,qoola:sa-altu Rosululloohi: ayyu ‘amala afdolu? Qoola: asholaatu liwaqtihaa, qoola: qultu tsumma ayyu? birrul waalidaini, qoola: tsumma ayyu? Aljihaadu fii sabilillahi famaa taroktu astaziduhu illaa ir’aa-a ‘alaihi

“Diriwayatkan dari Abduloh bin Mas’ud r.a.: Saya pernah bertanya pada Rosululloh: Amal apa yang paling utama? Beliau menjawab: Sholat tepat pada waktunya. Saya bertanya lagi: Kemudian amal apa lagi? Beliau menjawab: Berbuat baik kepada kedua orang tua. Saya bertanya lagi: Berikutnya amal apa? Beliau menjawab: Bersungguh-sungguh di jalan Alloh. Maka, tidaklah saya melanjutkan pertanyaan lagi kecuali menjaga hal tersebut.” (H.R. Bukhori-Muslim)

Hadits ini menegaskan bahwa sholat adalah gerbang utama untuk melaksanakan kebaikan-kebaikan yang lain. Jadi, kalau kita telah mengerjakan sholat, perbuatan-perbuatan yang lain seperti berbuat baik kepada orang tua bisa tercatat sebagai amal baik. Demikianlah pahala atau nilai sholat.

Lalu, apa balasan bagi orang yang meninggalkan sholat secara sengaja? Perhatikan ayat berikut. (Q.S. 19: 59)


“Maka, datanglah sesudah mereka pengganti yang menyia-nyiakan sholat dan memperturutkan hawa napsunya. Maka, mereka kelak akan menemui kesesatan.”


Ayat ini menegaskan bahwa jika orang menyia-nyiakan sholatnya, dia pasti akan menemukan kesesatan. Ini merupakan suatu kepastian. Jika kita berbuat demikian, jelaslah kita dalam kesesatan dan segala amal yang kita perbuat menjadi sia-sia. Kalau hanya sia-sia mungkin tidak menjadi masalah, tapi amalan tadi tidak tercatat menjadi amal baik. Kalau tidak tercatat sebagai amal baik, pasti tercatat menjadi amal jelek dan niscaya akan menghasilkan neraka. Perhatikan hadits berikut.


‘An jaabiri rodiyalloohu’anhu, qoola: sami’tu rosuululloohi: bainarrojuuli wa bainasyarki wa lkafiri, tarku sholaata.

“Diriwayatkan dari Jabir r.a. ia berkata: Saya pernah mendengar Rosululloh bersabda: Batas antara seseorang dengan syirik dan kafir adalah meninggalkan sholat.” (Muslim)


Hadits ini memperjelas kepada kita bahwa sesungguhnya perbedaan antara orang musyrik, orang kafir, dan orang beriman adalah sholat. Maka, jika orang yang mengaku beriman kepada Alloh dan kepada Rosul-Nya tidak mengerjakan sholat, mereka termasuk orang-orang kafir dan musyrik. Jadi, meskipun mereka mengerjakan segala perbuatan, mereka tidak akan mendapatkan pahala, malah akan mendapatkan dosa karena disejajarkan dengan orang-orang yang kafir dan musyrik.

Sholat












Syarat kedua dalam beragama Islam adalah mendirikan Sholat. Orang-orang yang beriman diperintahkan Alloh untuk melaksanakan sholat seperti tercantum dalam ayat berikut. (Q.S. 2: 43)


“Dan, dirikanlah sholat juga datangkanlah kebersihan, berukuklah bersama orang-orang yang rukuk.


Ayat ini menegaskan kepada kita bahwa sesungguhnya orang-orang yang mengaku dirinya beragama Islam harus mendirikan sholat, yakni melaksanakan sholat yang sudah ditentukan rukuk dan sujudnya. Sholat juga diperintahkan Alloh kepada Rosul-Rosul terdahulu. Dengan kata lain, perintah sholat bukan hanya ditujukan kepada Nabi Muhammad, tapi juga kepada Nabi sebelumnya. Simaklah ayat berikut ketika Nabi Isa ditanya dan menjawab. (Q.S. 19: 30–31)



30. “Berkata Isa: "Sesungguhnya Aku Ini hamba Allah. Dia memberiku Al Kitab dan Dia menjadikan Aku seorang Nab.
31. Dan, Dia menjadikan Aku seorang yang diberkati di mana saja Aku berada dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) sholat dan mendatangkan kebersihan selama aku masih hidup.”


Ayat-ayat di atas membuktikan bahwa Nabi dan Rosul terdahulu juga melaksanakan sholat. Mereka juga bersujud dan berukuk seperti halnya kita melaksankan sholat. Jadi, sholat adalah ajaran terdahulu, yakni ajaran para Nabi dan para Rosul yang harus kita laksanakan dan kita patuhi.
Sekarang marikita simak lagi ( Qs 3: 42 – 43 )



42. Dan (Ingatlah) ketika malaikat berkata: "Hai Maryam, Sesungguhnya Alloh Telah memilih kamu, mensucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia .
43. Hai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu, sujud dan ruku'lah bersama orang-orang yang ruku'.

Ayat ini semakin menegaskan kepada kita jangankan Nabi Isa sedangkan Ibunyapun Mariam diperintahkan untuk melaksanakan Sholat yakni bersujud dan beruku ini membuktikan bahwa perintah sholat sudah datang sejak jaman dahulu untuk membuktikan ketaatan hambanya .

Dalam melaksanakan sholat, harus mengerti dahulu tata caranya, jangan hanya ikut-ikutan sebab kalau hanya ikut-ikutan, sholatnya belum dikatakan benar. Hal ini tercantum dalam ayat berikut. (Q.S. 4: 43)


“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati, sholat sedangkan kalian dalam keadaan mabuk sebelum kalian mengerti apa yang kalian katakana. Jangan pula kalian mendekati tempat sujud, sedang kalian dalam keadaan junub terkecuali sekadar berlalu saja sebelum kalian mandi. Dan, jika kalian sakit atau dalam keadaan musafir atau kembali dari tempat buang air atau telah saling bersentuhan dengan perempuan kemudian kalian tidak menemukan air, bertayamumlah kalian dengan tanah yang baik, sapulah muka kalian dan tangan kalian. Sesungguhnya, Alloh pemaaf dan pengampun.


Menurut ayat ini, diserukan kepada orang yang beriman “janganlah kalian mendekati sholat, sedangkan kalian ada dalam keadaan mabuk.“. Mari kita perhatikan, mungkinkah orang yang beriman mabuk dalam artian mabuk minum-minuman keras? Apakah masih dikatakan orang beriman jika kita mabuk dalam artian meminum-minuman keras? Tak mungkin dikatakan orang beriman jika melanggar apa-apa yang dilarang oleh Alloh, sedangkan mabuk-mabukan dan minum-minuman keras itu dilarang Alloh. Lalu, mengapa ayat ini masih memanggil “Hai orang-orang yang beriman“? Itu berarti mabuk di sini bukan mabuk minuman keras, tetapi kita lihat kelanjutan ayat itu, “sehingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan“. Jadi, jelas yang dikatakan mabuk di sini adalah orang-orang yang tidak mengerti apa yang dia ucapkan, bukan tidak tahu terjamahannya, tetapi tidak tahu makna ucapannya.

Contoh: Seorang anak TK menyanyikan lagu yang liriknya sebagai berikut: Satu-satu aku sayang ibu, dua-dua aku sayang ayah, tiga-tiga sayang Adik kakak, satu dua tiga sayang semuanya.


Setelah melantunkan syair lagu tadi, dia dimintai uang oleh adiknya untuk jajan, tapi mereka malah bertengkar. Dia juga malah membuat jengkel orang tuanya dengan terus-terusan meminta uang jajan . ini terjadi karena dia tidak mengerti maksud dan tujuan lirik yang dia ucapkan serta pengertian sayang itu sendiri.

Dalam ayat tadi juga dikatakan, “Jangan mendekati tempat sujud jika kalian dalam keadaan junub kecuali hanya lewat.“ Ini menerangkan bahwa jika dalam keadaan junub, kita tidak boleh mendekati atau duduk di tempat sujud (masjid atau mushola) kecuali hanya lewat, terutama jika wanita-wanita yang sedang haid. Mereka tidak boleh duduk di masjid atau di mushola. Meskipun mereka mengenakan pengaman yang menjamin darah haid tidak akan bocor, tetapi jelas wanita itu dalam keadaan junub. Maka, larangan itu berlaku kecuali hanya sekadar lewat jika ada keperluan, misalnya memanggil suami atau anaknya yang berada di masjid tersebut.

Lalu, kita kembali lagi pada masalah sholat. Yang dimaksud mabuk di sini adalah tidak mengerti maksud dan tujuan ucapan-ucapan yang ada dalam sholat, yakni dari mulai takbirotul ikhrom sampai dengan mengucapkan salam. Kalau kita perhatikan, dalam sholat tadi ada makna pendidikan yang sangat tinggi, tersirat ajaran-ajaran yang sangat mendalam sehingga menghasilkan akhlak yang mulia. Pantas saja ada hadits yang mengatakan “Yang pertama-tama amal yang akan ditanya adalah sholat sehingga jika sholatnya baik maka baiklah semua amalnya, jika jelek maka jeleklah semua amal-amalannya.“. Jadi, yang pertama ditanya adalah amal sholat, bukan rukuk dan sujudnya, tetapi amal setelah itu sehingga sholat itu akan membangun akhlak yang sesuai dengan yang tersirat dalam ayat berikut. (Q.S. 29: 45)



“Bacalah apa-apa yang telah diwahyukan kepadamu dari kitab dan dirikanlah sholat. Sesungguhnya, sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar dan sesungguhnya mengingat Alloh itu lebih besar (lebih utama daripada pekerjaan-pekerjaan yang lain). Dan, Alloh mengetahui apa-apa yang kalian kerjakan.”


Ayat ini menegaskan bahwa sesungguhnya hanya dengan sholatlah orang akan mampu mencegah perbuatan keji dan munkar. Hanya dengan sholatlah, orang akan mengingat Alloh. Berarti, sholat mengandung kekuatan tersendiri sehingga menghasilkan akhlaq yang demikian mulianya. Berarti juga jelas sholat itu mengandung ajaran-ajaran yang dalam sehingga menghasilkan perilaku yang baik.

Perhatikan ayat berikut. (Q.S. 70: 21–23)


21. “Dan, apabila dia mendapatkan kebaikan dia, itu kikir
22. kecuali orang-orang yang mengerjakan sholat.
23. Dan, dia tetap mengerjakan sholatnya.”


Ayat ini juga menegaskan kepada kita bahwa orang yang selalu mengerjakan sholat akan bersifat dermawan dan tidak akan kikir. Jadi, jelas dalam sholat terdapat pendidikan sehingga menghasilkan manusia-manusia yang dermawan.

Mari kita simak ayat berikut. (Q.S. 5: 12)



“Dan, sesungguhnya Alloh telah mengambil perjanjian terhadap Bani Isroil dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin dan Alloh berfirman ‘Sesungguhnya, Aku bersama kalian jika kalian mendirikan sholat dan mendatangkan kebersihan serta kalian beriman kepada Rosul-Rosul-Ku dan kalian membantu mereka dan kalian menabung kepada Alloh dengan tabungan kebaikan. Sesungguhnya, Aku akan menghapuskan dosa-dosa kalian dan sesungguhnya kalian akan Kumasukkan ke dalam syurga yang sungai-sungai mengalir di bawahnya. Dan, barangsiapa yang kafir di antara kalian sesudah perjanjian itu maka sesunguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus.”

Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa dengan mendirikan sholat, kita akan selalu bersama Alloh dan jika kita menabung dengan cara berbuat kebaikan, kebaikan itu akan menghapuskan dosa. Jika dosa-dosa kita terhapuskan, jelas kita akan menjadi penghuni syurga. Jika kita mengerjakan sholat, Alloh akan menyertai kita. Coba bayangkan jika Alloh selalu menyertai kita, mungkinkah akan ada kesusahan atau kebingungan?

Contoh: Saat kita sedang dalam perjalanan jauh bersama majikan, pada saat lapar majikan mengajak kita makan, apakah kita akan khawatir dan akan kesulitan untuk membayar makanan yang kita makan? Secara jujur, kita akan mengatakan tidak karena semua makanan yang kita makan akan dijamin pembayarannya oleh majikan.


Contoh ini menegaskan kepada kita bahwa jika kita berjalan dengan majikan, kita akan tenang, apalagi jika kita selalu berjalan bersama Alloh. Sementara, Alloh pemilik segalanya. Kita tidak perlu merasa khawatir dan gelisah karena kita dijamin Alloh dan karena Alloh selalu menyertai kita. Itulah jaminan untuk orang yang mengerjakan sholat dengan benar.

Ayat ini juga menjelaskan bahwa jika kita tidak mendirikan sholat, perbuatan baik apa pun yang kita lakukan tidak akan termasuk perbuatan baik meskipun perbuatan itu pada pandangan manusia baik, misalnya kita menolong sesama manusia. Apabila kita tidak mendirikan sholat, perbuatan itu akan tertolak dan jelas kita akan menjadi penghuni neraka jahannam. Jadi, syarat untuk mengerjakan amal baik adalah mendirikan sholat terlebih dahulu. Sholat merupakan syarat mutlak untuk meraih nilai amal sholeh.

Mari kita simak ayat di bawah ini. (Q.S. 62: 9–10)


9. “Hai orang-orang yang beriman, jika kalian diseru untuk menunaikan sholat jum’at maka bergegaslah kalian mengingat Alloh dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengerti.
10. Apabila telah ditunaikan sholat maka berikhtiarlah kalian di muka bumi ini dan carilah karunia Alloh dan ingatlah Alloh sebanyak-banyaknya supaya kalian beruntung.


Ayat ini menegaskan kepada kita bahwa dengan sholat orang akan selalu ingat kepada Alloh. Dalam melakukan usaha apa pun kalau kita ingat kepada Alloh, semua usahanya akan menghasilkan keuntungan. Jadi, sholat mengandung pendidikan dan merupakan satu sarana untuk mendekatkan diri kepada Alloh.

Melihat ayat-ayat di atas, jelaslah bahwa makna sholat sangatlah dalam sehingga akan menghasilkan seorang hamba yang patuh dan ta’at kepada Tuhannya, akan menjadikan manusia-manusia yang tangguh dalam menghadapi segala permasalahan yang dihadapannya, bukan melahirkan manusia-manusia yang cengeng dan mudah putus asa. Demikian makna yang tersirat dalam sholat.

Untuk melaksanakan sholat, kita harus bersih dari junub. Kalau masih dalam keadaan junub, kita diharuskan untuk mandi terlebih dahulu setelah syarat yang kedua, yaitu berwudlu. (Q.S. 5: 6)


“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan sholat maka basuhlah muka kalian dan tangan kalian sampai sikut dan usaplah kepala kalian dan kaki kalian sampai mata kaki dan jika kalian dalam keadaan junub maka mandilah dan jika kalian sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan lalu tidak menemukan air, bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih), sapulah muka kalian dan tangan kalian dengan tanah. Alloh tidak hendak menyulitkan kalian, tetapi hendak membersihkan kalian dan hendak menyempurnakan nikmat-Nya bagi kalian supaya kalian bersyukur.”


Ayat ini mengandung makna bahwa kita harus melaksanakan perintah Alloh dalam keadaan bersih dan suci dari najis. Selain badan, tempatnya pun harus bersih dan suci. Pakaian yang kita kenakan pun harus menutup semua aurat, bersih, dan suci. Kita pun harus menghadap kiblat saat melaksanakan sholat. Aturan ini jelas tidak bisa ditolak, suka atau tidak suka, tetap harus diikuti.

Contoh: Pakaian sholat semua manusia sama, tidak mengenal bangsa juga adat dan tidak mengenal cuaca. Meskipun cuaca panas, perempuan harus berpakaian tertutup sehingga menutupi aurat.


Ini mengandung makna bahwa orang-orang yang beriman harus berpakaian sesuai dengan ketentuan Alloh. Laki-laki atau perempuan sama, mereka harus memenuhi kriteria yang sudah ditentukan. Berpakaian seperti itu membuktikan bahwa kita adalah manusia yang beriman. Sementara, orang yang berpakaian semau gue dan seenaknya dikategorikan dan digolongkan kepada manusia-manusia kafirin. Jadi, pada dasarnya, melaksanakan perintah Alloh harus sesuai dengan aturan-aturan yang sudah ditentukan Alloh. Kita tidak boleh membuat aturan baru, misalnya aturan yang berdasarkan adat istiadat suatu daerah..

Untuk menjaga kekhusukan kita dalam melaksanakan sholat, diperlukan satu pengorbanan dengan selalu melakukan atau mengerjakan sholat pada tempatnya, misalnya di masjid atau kita membangun mushola di rumah. Hendaknya, kamar tidak lebih besar dari mushola. Di mushola, kita siapkan pakaian khusus untuk sholat.

Contoh: Seorang kerabat dekat mengadakan walimahan dengan mengundang beberapa kerabat yang lainnya. Mereka datang dengan pakaian-pakaian khusus untuk undangan, sedangkan kita memakai pakaian olah raga. Akankah kita khusuk pada acara walimahan tadi? Lalu, saat acara makan, akankah kita khusuk saat makan sementara kita memakai baju yang tidak sesuai dan tidak sama dengan yang lain? Secara jujur, mungkin kita akan mengatakan tidak dan mungkin akan lekas pulang karena merasa malu terhadap tamu yang lain. Kita juga akan dinilai tidak menghormati tuan rumah.


Dari contoh tadi, jelaslah bahwa pakaian saja bisa membuat kita tidak khusuk dan dikatakan tidak menghormati. Dalam adat pergaulan sehari-hari, ada peraturan dan kita harus mengikuti dan mempersiapkannya: pakaian untuk kerja, pakaian untuk olah raga, pakaian untuk undangan, dan pakaian-pakaian yang lainnya. Yang paling penting, kita tidak boleh lupa menyediakan pakaian khusus untuk sholat yang bersih, baik, dan wangi. Saat membangun rumah pun kita tidak boleh lupa menyediakan ruang untuk mushola. Kadang, kita melupakannya. Padahal, kita sudah berjanji untuk mengabdi kepada Alloh. Sementara, tempat pengabdian kepada Alloh sendiri tidak dipersiapkan. Bagaimana bisa kita membuktikan bahwa kita adalah hamba Alloh kalau demikian? Oleh karena itu, sebaiknya hamba-hamba Alloh menyediakan mushola di dalam rumahnya lengkap dengan segala keperluannya yang bersih.

Dalam melaksanakan sholat, ada beberapa rukun yang tidak boleh ditinggalkan. Berikut akan diuraikan satu per satu.

1. Mengucapkan taqbir sambil mengangkat kedua tangan sama tingginya. Hal ini sesuai dengan Al hadits berikut.

‘An’abdillaahibni ‘umaro rodiyallohu’anhumaa an Rosulullohi kaana yarfa’u yadaihi hadzwamankibaini idzaa aftatahisholaata wa idzaa kabbaro lirukuu’I wa idzaa rofa’a ro-suhu minarrukuu’I rofa’haa kadzaalika aidhoo waqoola sami’alloohu liman hamidahu wa kaana laa yaf’al dzaalika filsujuudi

“Diriwayatkan dari Abdulloh bin Umar r.a. bahwa ketika melihat Rosululloh mengangkat kedua tangannya setinggi kedua pundaknya, begitu pula ketika bertaqbir hendak ruku’ dan ketika mengangkat kepala pada saat ruku’ dengan mengucapkan ‘Sami Alloh hu liman hamida hu’, Rosululloh tidak mengangkat tangan ketika sujud.” (H.R. Bukhori)

Hadits ini menegaskan kepada kita bahwa sholat dimulai dengan membaca taqbir sambil mengangkat kedua tangan setinggi kedua pundak. Ucapan “Allohu akbar“ menyatakan bahwa Allohlah yang memiliki kebesaran dan kita adalah do’if. Kita kecil di hadapan Alloh. Pernyataan ini mengandung arti bahwa sesungguhnya kita tidak boleh sombong, tidak boleh tinggi hati. Mengangkat kedua tangan berarti penyerahan diri sepenuhnya kepada Alloh juga penyerahan diri sepenuhnya terhadap hukum-hukum-Nya.
Aturan dan tata cara melaksanakan sholat sama untuk semua golongan. Si kaya, si miskin, pejabat, ataupun rakyat mengucapkan kalimat yang sama dan menggerakan tangan dengan sama, tidak berbeda. Ini mengandung makna bahwa sesungguhnya di hadapan Alloh, manusia sama. Di hadapannya, kita tidak dibedakan dari kasta dan kedudukan. Jadi, seandainya setelah mengerjakan sholat, seseorang masih sombong, masih membedakan kedudukan, dan masih merasa dirinya lebih dari yang lain, sholatnya dilakukan dalam keadaan mabuk. Ia tidak mengerti apa yang diucapkannya.


2. Membaca Fatihah


‘An ‘ubaadatabnishoomiti rodiyallohu’anhu anna rosuulullohi qoola laashoolaata liman lam yaqro-u bifaatihatilkitaabi.


“Diriwayatkan dari Hubdah bin Ash-samit r.a. bahwa Rosululloh pernah bersabda, ‘Tidak sah sholatnya orang yang tidak membaca fatihah.’“. (H.R. Bukhori)


Al-Hadits ini menegaskan bahwa bacaan yang merupakan rukun dalam sholat adalah surat Al-Fatihah. Dengan kata lain, kita diharuskan mengerti kandungan surat Fatihah sebagaimana tercantum dalm ayat di bawah ini.(Q.S. 15: 87)



“Dan, sesungguhnya telah Kami turunkan kepadamu tujuh ayat yang dibacakan berulang-ulang karena bacaan itu agung.”


Dengan menyimak ayat ini, jelaslah bahwa surat fatihah diturunkan dan dibacakan secara berulang-ulang. Maksudnya dibacakan adalah bukan dibacakan saja, tetapi diajarkannya secara berulang. Ini karena menurut qaol ulama, di dalam fatihah terdapat kumpulan makna dari 30 juz dalam Al-Qur’an. Ada juga yang mengatakan bahwa fatihah adalah umul kitab. Maka, jelaslah bahwa fatihah mengandung makna yang sangat dalam sehingga merupakan rukun sholat. Dan, tidak sah sholat tanpa bacaan suratul fatihah.

Mari kita simak cuplikan ayat yang mengatakan Uyyaka na’budu yang terjamahannya “Hanya kepada Engkaulah kami beribadah.“ Ini berarti bahwa kami akan mengabdi hanya kepada Alloh, bukan kepada siapa-siapa. Secara tidak langsung, ini merupakan satu pernyataan bahwa sesungguhnya hanya Allohlah majikan kami. Jadi, yang akan diturut dan dipatuhi perintah dan larangannya hanyalah perintah dan larangan Alloh. Jadi, orang yang mengerti, setelah mengerjakan sholat akan melaksanakan segala sesuatunya sesuai dengan perintah Alloh, bukan bergerak atas hawa napsunya. Inilah inti kalimat “Iyyaa Ka na’ budu“.

Cuplikan berikutnya berarti Wiyyaka nasta’inu “Hanya kepada Engkaulah kami minta pertolongan“. Artinya, hanya Allohlah pemilik pertolongan. Jadi, kita tidak bisa meminta pertolongan kepada siapa pun dalam melaksanakan peribadatan. Kita hanya bisa dan boleh meminta pertolongan Alloh. Jelasnya, kita tidak bisa mempergunakan hukum-hukum sendiri dalam melaksanakan peribadahan kepada Alloh, melainkan hanya melalui hukum-hukum-Nya. Jadi, melaksanakan sesuatu peribadahan harus sesuai dengan perintah–Nya, yakni hukum-hukum yang tertera dalam Al-Qur’an. Dengan kata lain, kita harus mengerti isi dan kandungan Al-Qur’an.

Rukun sholat diakhiri dengan mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri. Ini mengandung arti bahwa orang muslim harus baik kepada siapa pun dalam hablum minannas atau dalam hubungan kemanusiaan. Orang-orang muslim selalu baik kepada golongan kanan atau golongan kiri karena mereka semua makhluk Alloh. Hal ini sesuai dengan ayat di bawah ini. (Q.S. 25: 63)



“Dan, hamba-hamba Tuhan yang Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.”

Inilah sikap yang harus dimiliki oleh hamba-hamba Alloh. Jadi, kalau seandainya orang-orang yang telah melaksanakan sholat tidak berwatak demikian, sia-sialah sholatnya. Ia tidak akan mendapatkan pahala, melainkan mendapatkan adzab dari Alloh.

Sholat pun mengajarkan kepada kita keselarasan dalam kehidupan sehari-hari, yakni mendidik kita untuk selalu berjamaah, selalu bersama, tidak saling mendahului dan selalu mendengarkan komando ketika imam sujud. Semua makmum harus patuh dan taat dalam mengikuti gerakan imam. Tidak ada perbedaan antara yang kaya dan yang miskin, yang pintar dan yang bodoh. Semua serentak dalam satu irama yang sama. Ketika imam salah, seorang makmum yang tahu mengingatkan dengan bahasa yang lembut dengan ucapan “Subhanalloh“ dan imam dengan sadar hati mengakui kesalahannya. Dia tidak pernah melihat ke belakang untuk mengetahui yang mengingatkan tadi si kaya atau si miskin, anak-anak atau orang tua. Yang penting, dia tahu bahwa imam salah dan tidak ada niat dalam diri makmum untuk menggantikan posisi imam tadi. Dia memperingatkan dengan sepenuh hati dan karena Alloh, bukan karena mengharap pujian atau apapun. Inilah pendidikan yang harus kita terapkan dalam keseharian baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam bernegara.

Seorang pemimpin harus mengarahkan yang dipimpinnya ke jalan yang benar. Lalu, ketika pemimpin itu keluar dari jalannya, rakyat wajib memberi tahu agar dia kembali ke jalan yang benar. Seorang pemimpin pun jika diingatkan jangan merasa paling benar. Dia harus menyadari bahwa tidak mungkin rakyat menegur jika dia tidak keluar dari jalur kepemimpinannya. Rakyat pun hendaknya memperingatkan dengan baik, bukan dengan hujatan-hujatan dan bukan karena ingin mengganti kedudukan pemimpin tadi, tetapi demi terwujudnya negara yang aman dan makmur.

Dalam kehidupan keluarga, seorang suami sebagai seorang pemimpin harus mau dikoreksi oleh rakyatnya, yakni oleh anak dan istrinya. Jika keluar dari aturan-aturan Alloh dan Rosulnya, anak dan istri mempunyai hak untuk mengingatkan pemimpinnya dan seorang pemimpin harus menyadari kesalahannya. Dia hjarus memperbaikinya dan meminta maaf atas kesalahnnya. Rakyat (anak dan istri) harus mengikuti arahan-arahan pemimpinnya selama masih dalam jalan yang benar. Inilah hikmah sholat. Jika hal ini dilaksanakan, alangkah indahnya dan alangkah tentramnya kehidupan kita sehari-hari.

Melaksanakan sholat adalah ketentuan Alloh yang ditentukan waktunya sesuai dengan ayat di bawah ini. (Q.S. 4: 103)


“Maka, apabila kalian telah menyelesaikan sholat, ingatlah Alloh di waktu berdiri, di waktu duduk, dan di waktu berbaring. Kemudian, apabila kalian telah merasa aman maka dirikanlah sholat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya, sholat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”


Ayat ini menegaskan kepada kita bahwa sesungguhnya sholat tidak bisa ditinggalkan sebagaimana diperintahkan, “Dan, ingatlah Alloh di waktu berdiri, di waktu duduk, di waktu berbaring.“ Ini menandakan bahwa dalam keadaan apa pun, kita tidak boleh meninggalkan sholat meskipun hanya bisa dengan berdiri saja, hanya bisa dengan duduk saja, ataupun hanya bisa dengan berbaring. Ini makna yang tersirat dalam ayat ini. Mengapa dinisbatkan kepada sholat ingat di sini.? Sebab ayat yang berikutnya mengatakan. “Kemudian, setelah kalian merasa aman maka dirikanlah sholat.“
Adapun waktu-waktu yang telah ditentukan Alloh dalam melaksanakan sholat sebagai berikut. (Q.S. 17: 78)



“Dirikanlah sholat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula sholat) subuh. Sesungguhnya, sholat subuh itu disaksikan.”
Kita simak juga ayat berikut. (Q.S. 11: 114)



“Dan, dirikanlah sholat itu pada kedua tepi siang dan pada bagian permulaan dari pada malam. Sesungguhnya, perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.”


Simak pula ayat berikut. (Q.S. 30: 17–18)



17. “Maka, sucikanlah Alloh di waktu kalian berada di petang hari dan waktu kalian berada di waktu subuh.
18. Dan, milik-Nyalah puji itu di langit dan di bumi dan di waktu kalian berada pada waktu Isya dan di waktu kalian berada di waktu Dzuhur.”


Dalam ayat ke-17, dikatakan bahwa “Sucikanlah Alloh.“. Di sini, maksudnya harus benar-benar hanya Alloh yang ada pada hati kita. Dengan kata lain, kita harus benar-benar mengingat Alloh, yakni ingat akan perintah Alloh karena pada waktu-waktu tertentu ada perintah untuk mendirikan sholat.
Ayat-ayat di atas menegaskan bahwa sholat terbagi dalam waktu-waktu yang telah ditentukan Alloh. Jadi, kita tidak bisa sembarangan melaksanakan sholat karena sudah ditentukan waktunya.

Adapun waktu waktu sholat menurut Al-Hadits adalah sebagai berikut.

‘An muhammadibni ‘amri. Qoola: lammaa qodimalhajjaahul madiinata , fasa-alanaa jaabiirubnu ‘abdillaahi.? Faqoola: kaana rosuululloohi yushollidluhro bilhaajirota, wal’ashri wasyamsu nariyatan, walmaghriba waidzaa wajabat, wal ‘asyaa-a ahyaanaa yu-akhruhaa wa ayaanaa yu’ajjalu, kaana idzaa roohum qodijtama’uu, ‘ajjala, waidzaa roohum qod abthou-uu akhorro, washubha kaanuu,au qoola: kaananNabiyyu yushollaihaa bifalasi akhorjahalkhooro.

“Diriwayatkan dari Muhammad bin Amru, ia berkata: Ketika jamaah haji sampai di Madinah, kami bertanya kepada Jabir bin Abdulloh r.a.. Kata Jabir: Rosululloh senantiasa melakukan sholat Dzuhur ketika matahari condong sedikit ke barat, salat Ashar ketika matahari masih bersih (belum merah), sholat Magrib ketika matahari telah terbenam, sholat Isya kadang-kadang beliau mengakhirkannya. Apabila beliau melihat orang-orang telah berkumpul maka beliau menyegerakan sholat Isya dan apabila beliau melihat orang-orang lambat maka beliau mengakhirkannya menurut kondisi mereka atau kata Jabir bin Abdulloh, Nabi biasanya mengerjakan sholat Shubuh ketika hari masih gelap.” (H.R. Bukhori–Muslim)


Hadits ini mengisaratkan kepada kita bahwa waktu sholat Shubuh pada saat masih gelap, yakni pada saat terbit fajar atau keadaan masih gelap


Waktu sholat Dzuhur tercantum dalam hadits berikut..


‘An khobaaba rodiyallohu’anhu qoola: atainaa Rosulullohi, fasyakuuna ilaihi harorrorromdhoo-I, falam yusykina. Qoola zuhairu: qultu liabii ishaaqo: afiidldluhhri.? Na’am, qultu: afii ta’jiiliha.? Qoola: na’am.

“Diriwayatkan dari Khabbab r.a., ia berkata: Kami datang kepada Rosululloh lalu kami mengadu mengenai teriknya matahari, namun beliau tidak menerima pengaduan kami (untuk penundaan waktu DDzuhur). Kata Zuhair: Saya bertanya kepada Abu Ishak. “Apakah sudah DDzuhur?“ Dia menjawab, “Ya“ Saya bertanya lagi, “Apakah segera lakukan sholat?” Dia menjawab “Ya“.” (H.R. Muslim)


Hadits ini menerangkan waktu Dzuhur adalah setelah tergelincir matahari, yakni dari tengah-tengah atau ketika matahari di atas kepala, menggelincir sedikit ke barat. Maka, saat itu adalah saat masuk waktu sholat Dzuhur.

Sementara itu, waktu masuknya sholat Ashar dijelaskan dalam hadits berikut..


‘An annasibni maaliki rodiyallohu’anhu, Rosululloohi kaana yusholliil’ashri wasyamsu murtafi’atun, fayadzhabuldzahibu ilal’awwaalii faya-tilawaaliya wasyamsu murtafi’atun.

“Diriwayatkan dari Annas bin Malik r.a., bahwasannya Rosululloh melakukan sholat Ashar ketika matahari masih tinggi dan panas kemudian seseorang pergi ke puncak yang tinggi lalu sampai disana pun matahari masih tinggi.” (H.R. Bukhori-Muslim)


Hadits ini menyatakan bahwa waktu sholat Ashar ketika matahari masih di atas atau ketika matahari tergelincir dan masih di atas, yakni ketika bayangan seseorang sama tingginya dengan orang tadi. Maka, pada saat itu sudah masuk waktu Ashar.

Waktu masuk sholat Magrib dijelaskan dalam hadits berikut.


‘An salamatabnilakwaa’I roduyallohu’anhu, Anna Rosululloohi. Kaana yushollilmaghribi idzaa ghorobatisysyamsu watawaarotun.

“Diriwayatkan dari Salamah binti Al-akwaa, r.a. bahwasannya Rosululloh biasa melakukan sholat Maghrib setelah matahari terbenam dan tidak tampak.” (H.R. Bukhori-Muslim)

Hadits ini menerangkan kepada kita bahwa waktu sholat Maghrib adalah setelah masuk matahari dan matahari tersebut sudah tidak terlihat. Yang jelas, waktu sholat Magrib adalah ketika kita sudah tidak membedakan warna putih dan hitam. Ada juga keterangan yang menerangkan bahwa waktu sholat Magrib apabila kita melemparkan anak panah dan anak panah tersebut tidak bisa terlihat jatuhnya Itulah saat sholat Magrib.

Waktu sholat Isya menurut Al-hadits sebagai berikut.


‘An‘aisyatarodiyalloohu’anhaaqoolat:a’tamanNabiyyu, dzaata lailata hattaa dzahaba ‘ammatu laili, wa hattaa naama ahlulmasjidi,tsumma fasholla, faqoola: innahu lawaqtuhaa, laulaa anna asyuqo ‘alaa ‘ummatii.

“Diriwayatkan oleh Aisyah r.a. ia berkata: Pada suatu malam, Nabi lambat keluar untuk sholat Isya hingga sebagian malam telah berlalu dan orang-orang di masjid sudah tidur. Kemudian, beliau keluar untuk sholat Isya lalu beliau bersabda: “Sebenarnya, inilah waktu jamaah sholat Isya yang utama kalau aku tidak khawatir memberatkan umatku.“ (H.R. Bukhori-Muslim)

Hadits ini menerangkan bahwa sholat Isya baik dilaksanakan sebelum memasuki tengah malam. Hadits ini juga menerangkan bahwasan masjid diperbolehkan untuk dipakai tidur karena sebagian orang ada yang melarang masjid dipakai tidur. Kalau tidur di masjid, orang tidak akan mungkin terlambat sholat Shubuh.


Waktu Sholat subuh menurut Al-hadits


‘An anaasi rodiyallohu’anhu: Anna zaidabni tsaabiti rodiyalloohu ‘anhu haddatsahu: Annahum nasahharuu ma’annabiyyii tsumma qoomuu ilaa shsholaati: Qultu: Kam kaana bainahumaa.? Qoola: Qodru khomsiina au sittiina ya’nii ayatan.

Diriwayatkan dari Anas .ra. bahwa Zaid bin tsabit mengatakan kepadanya: Para sahabat makan sahur bersama Nabi,kemudian mereka melaksanakan sholat subuh. Saya bertanya:Berapa jarak waktu antara makan sahur dengan sholat subuh.? Zaid bintsabit menjawab. Kira-kira bacaan 50 atau 60 ayat. ( H.R.Bukhori )

Demikianlah waktu-waktu sholat yang telah ditentukan Alloh. Adapun alasan sholat Isya tidak boleh melewati tengah malam adalah karena di waktu itu ada perintah lain. Lebih jelasnya, kita simak ayat berikut. (Q.S. 17: 79)



“Dan, pada sebagian malam hari bertahajudlah kamu Nafilatan bagimu; Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.”


Ayat ini mengatakan bahwa di malam hari ada sholat lain selain Isya, yakni Tahajjud. Maka, sholat Isya tidak boleh diakhirkan hingga melewati waktu tengah malam.

Lalu, apa pahala (balasan) bagi orang-orang yang mengerjakan sholat? Simaklah ayat berikut. (Q.S. 23: 8–11)



8. “Dan, orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya
9. dan orang-orang yang memelihara sholatnya,
10. mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi,
11. (yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.”


Inilah balasan bagi orang-orang yang memelihara sholatnya, yakni mewarisi syurga dan akan kekal di dalamnya. Aadapun memelihara di sini bukan hanya melaksanakan rukuk dan sujud, tapi jelas setelah melaksanakan rukuk dan sujud, dia mampu memelihara ketaatannya kepada Alloh dan Rosul-Nya. Ia mengerti dan bertanggung jawab akan sholatnya. Jadi, orang-orang yang memelihara sholatnya adalah orang-orang yang tidak melaksanakan kemungkaran dan tidak melaksanakan kekejian sesuai dengan pesan moral yang tersirat dalam sholat tadi. Perhatikan Al-Hadits berikut.


‘An‘abdillahibnilas’uudirodiyallohu’anhu,qoola:sa-altu Rosululloohi: ayyu ‘amala afdolu? Qoola: asholaatu liwaqtihaa, qoola: qultu tsumma ayyu? birrul waalidaini, qoola: tsumma ayyu? Aljihaadu fii sabilillahi famaa taroktu astaziduhu illaa ir’aa-a ‘alaihi

“Diriwayatkan dari Abduloh bin Mas’ud r.a.: Saya pernah bertanya pada Rosululloh: Amal apa yang paling utama? Beliau menjawab: Sholat tepat pada waktunya. Saya bertanya lagi: Kemudian amal apa lagi? Beliau menjawab: Berbuat baik kepada kedua orang tua. Saya bertanya lagi: Berikutnya amal apa? Beliau menjawab: Bersungguh-sungguh di jalan Alloh. Maka, tidaklah saya melanjutkan pertanyaan lagi kecuali menjaga hal tersebut.” (H.R. Bukhori-Muslim)

Hadits ini menegaskan bahwa sholat adalah gerbang utama untuk melaksanakan kebaikan-kebaikan yang lain. Jadi, kalau kita telah mengerjakan sholat, perbuatan-perbuatan yang lain seperti berbuat baik kepada orang tua bisa tercatat sebagai amal baik. Demikianlah pahala atau nilai sholat.

Lalu, apa balasan bagi orang yang meninggalkan sholat secara sengaja? Perhatikan ayat berikut. (Q.S. 19: 59)


“Maka, datanglah sesudah mereka pengganti yang menyia-nyiakan sholat dan memperturutkan hawa napsunya. Maka, mereka kelak akan menemui kesesatan.”


Ayat ini menegaskan bahwa jika orang menyia-nyiakan sholatnya, dia pasti akan menemukan kesesatan. Ini merupakan suatu kepastian. Jika kita berbuat demikian, jelaslah kita dalam kesesatan dan segala amal yang kita perbuat menjadi sia-sia. Kalau hanya sia-sia mungkin tidak menjadi masalah, tapi amalan tadi tidak tercatat menjadi amal baik. Kalau tidak tercatat sebagai amal baik, pasti tercatat menjadi amal jelek dan niscaya akan menghasilkan neraka. Perhatikan hadits berikut.


‘An jaabiri rodiyalloohu’anhu, qoola: sami’tu rosuululloohi: bainarrojuuli wa bainasyarki wa lkafiri, tarku sholaata.

“Diriwayatkan dari Jabir r.a. ia berkata: Saya pernah mendengar Rosululloh bersabda: Batas antara seseorang dengan syirik dan kafir adalah meninggalkan sholat.” (Muslim)


Hadits ini memperjelas kepada kita bahwa sesungguhnya perbedaan antara orang musyrik, orang kafir, dan orang beriman adalah sholat. Maka, jika orang yang mengaku beriman kepada Alloh dan kepada Rosul-Nya tidak mengerjakan sholat, mereka termasuk orang-orang kafir dan musyrik. Jadi, meskipun mereka mengerjakan segala perbuatan, mereka tidak akan mendapatkan pahala, malah akan mendapatkan dosa karena disejajarkan dengan orang-orang yang kafir dan musyrik.
Sholat












Syarat kedua dalam beragama Islam adalah mendirikan Sholat. Orang-orang yang beriman diperintahkan Alloh untuk melaksanakan sholat seperti tercantum dalam ayat berikut. (Q.S. 2: 43)


“Dan, dirikanlah sholat juga datangkanlah kebersihan, berukuklah bersama orang-orang yang rukuk.


Ayat ini menegaskan kepada kita bahwa sesungguhnya orang-orang yang mengaku dirinya beragama Islam harus mendirikan sholat, yakni melaksanakan sholat yang sudah ditentukan rukuk dan sujudnya. Sholat juga
diperintahkan Alloh kepada Rosul-Rosul terdahulu. Dengan kata lain, perintah sholat bukan hanya ditujukan kepada Nabi Muhammad, tapi juga kepada Nabi sebelumnya. Simaklah ayat berikut ketika Nabi Isa ditanya dan menjawab. (Q.S. 19: 30–31)



30. “Berkata Isa: "Sesungguhnya Aku Ini hamba Allah. Dia memberiku Al Kitab dan Dia menjadikan Aku seorang Nab.
31. Dan, Dia menjadikan Aku seorang yang diberkati di mana saja Aku berada dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) sholat dan mendatangkan kebersihan selama aku masih hidup.”


Ayat-ayat di atas membuktikan bahwa Nabi dan Rosul terdahulu juga melaksanakan sholat. Mereka juga bersujud dan berukuk seperti halnya kita melaksankan sholat. Jadi, sholat adalah ajaran terdahulu, yakni ajaran para Nabi dan para Rosul yang harus kita laksanakan dan kita patuhi.
Sekarang marikita simak lagi ( Qs 3: 42 – 43 )



42. Dan (Ingatlah) ketika malaikat berkata: "Hai Maryam, Sesungguhnya Alloh Telah memilih kamu, mensucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia .
43. Hai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu, sujud dan ruku'lah bersama orang-orang yang ruku'.

Ayat ini semakin menegaskan kepada kita jangankan Nabi Isa sedangkan Ibunyapun Mariam diperintahkan untuk melaksanakan Sholat yakni bersujud dan beruku ini membuktikan bahwa perintah sholat sudah datang sejak jaman dahulu untuk membuktikan ketaatan hambanya .

Dalam melaksanakan sholat, harus mengerti dahulu tata caranya, jangan hanya ikut-ikutan sebab kalau hanya ikut-ikutan, sholatnya belum dikatakan benar. Hal ini tercantum dalam ayat berikut. (Q.S. 4: 43)


“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati, sholat sedangkan kalian dalam keadaan mabuk sebelum kalian mengerti apa yang kalian katakana. Jangan pula kalian mendekati tempat sujud, sedang kalian dalam keadaan junub terkecuali sekadar berlalu saja sebelum kalian mandi. Dan, jika kalian sakit atau dalam keadaan musafir atau kembali dari tempat buang air atau telah saling bersentuhan dengan perempuan kemudian kalian tidak menemukan air, bertayamumlah kalian dengan tanah yang baik, sapulah muka kalian dan tangan kalian. Sesungguhnya, Alloh pemaaf dan pengampun.


Menurut ayat ini, diserukan kepada orang yang beriman “janganlah kalian mendekati sholat, sedangkan kalian ada dalam keadaan mabuk.“. Mari kita perhatikan, mungkinkah orang yang beriman mabuk dalam artian mabuk minum-minuman keras? Apakah masih dikatakan orang beriman jika kita mabuk dalam artian meminum-minuman keras? Tak mungkin dikatakan orang beriman jika melanggar apa-apa yang dilarang oleh Alloh, sedangkan mabuk-mabukan dan minum-minuman keras itu dilarang Alloh. Lalu, mengapa ayat ini masih memanggil “Hai orang-orang yang beriman“? Itu berarti mabuk di sini bukan mabuk minuman keras, tetapi kita lihat kelanjutan ayat itu, “sehingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan“. Jadi, jelas yang dikatakan mabuk di sini adalah orang-orang yang tidak mengerti apa yang dia ucapkan, bukan tidak tahu terjamahannya, tetapi tidak tahu makna ucapannya.

Contoh: Seorang anak TK menyanyikan lagu yang liriknya sebagai berikut: Satu-satu aku sayang ibu, dua-dua aku sayang ayah, tiga-tiga sayang Adik kakak, satu dua tiga sayang semuanya.


Setelah melantunkan syair lagu tadi, dia dimintai uang oleh adiknya untuk jajan, tapi mereka malah bertengkar. Dia juga malah membuat jengkel orang tuanya dengan terus-terusan meminta uang jajan . ini terjadi karena dia tidak mengerti maksud dan tujuan lirik yang dia ucapkan serta pengertian sayang itu sendiri.

Dalam ayat tadi juga dikatakan, “Jangan mendekati tempat sujud jika kalian dalam keadaan junub kecuali hanya lewat.“ Ini menerangkan bahwa jika dalam keadaan junub, kita tidak boleh mendekati atau duduk di tempat sujud (masjid atau mushola) kecuali hanya lewat, terutama jika wanita-wanita yang sedang haid. Mereka tidak boleh duduk di masjid atau di mushola. Meskipun mereka mengenakan pengaman yang menjamin darah haid tidak akan bocor, tetapi jelas wanita itu dalam keadaan junub. Maka, larangan itu berlaku kecuali hanya sekadar lewat jika ada keperluan, misalnya memanggil suami atau anaknya yang berada di masjid tersebut.

Lalu, kita kembali lagi pada masalah sholat. Yang dimaksud mabuk di sini adalah tidak mengerti maksud dan tujuan ucapan-ucapan yang ada dalam sholat, yakni dari mulai takbirotul ikhrom sampai dengan mengucapkan salam. Kalau kita perhatikan, dalam sholat tadi ada makna pendidikan yang sangat tinggi, tersirat ajaran-ajaran yang sangat mendalam sehingga menghasilkan akhlak yang mulia. Pantas saja ada hadits yang mengatakan “Yang pertama-tama amal yang akan ditanya adalah sholat sehingga jika sholatnya baik maka baiklah semua amalnya, jika jelek maka jeleklah semua amal-amalannya.“. Jadi, yang pertama ditanya adalah amal sholat, bukan rukuk dan sujudnya, tetapi amal setelah itu sehingga sholat itu akan membangun akhlak yang sesuai dengan yang tersirat dalam ayat berikut. (Q.S. 29: 45)



“Bacalah apa-apa yang telah diwahyukan kepadamu dari kitab dan dirikanlah sholat. Sesungguhnya, sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar dan sesungguhnya mengingat Alloh itu lebih besar (lebih utama daripada pekerjaan-pekerjaan yang lain). Dan, Alloh mengetahui apa-apa yang kalian kerjakan.”


Ayat ini menegaskan bahwa sesungguhnya hanya dengan sholatlah orang akan mampu mencegah perbuatan keji dan munkar. Hanya dengan sholatlah, orang akan mengingat Alloh. Berarti, sholat mengandung kekuatan tersendiri sehingga menghasilkan akhlaq yang demikian mulianya. Berarti juga jelas sholat itu mengandung ajaran-ajaran yang dalam sehingga menghasilkan perilaku yang baik.

Perhatikan ayat berikut. (Q.S. 70: 21–23)


21. “Dan, apabila dia mendapatkan kebaikan dia, itu kikir
22. kecuali orang-orang yang mengerjakan sholat.
23. Dan, dia tetap mengerjakan sholatnya.”


Ayat ini juga menegaskan kepada kita bahwa orang yang selalu mengerjakan sholat akan bersifat dermawan dan tidak akan kikir. Jadi, jelas dalam sholat terdapat pendidikan sehingga menghasilkan manusia-manusia yang dermawan.

Mari kita simak ayat berikut. (Q.S. 5: 12)



“Dan, sesungguhnya Alloh telah mengambil perjanjian terhadap Bani Isroil dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin dan Alloh berfirman ‘Sesungguhnya, Aku bersama kalian jika kalian mendirikan sholat dan mendatangkan kebersihan serta kalian beriman kepada Rosul-Rosul-Ku dan kalian membantu mereka dan kalian menabung kepada Alloh dengan tabungan kebaikan. Sesungguhnya, Aku akan menghapuskan dosa-dosa kalian dan sesungguhnya kalian akan Kumasukkan ke dalam syurga yang sungai-sungai mengalir di bawahnya. Dan, barangsiapa yang kafir di antara kalian sesudah perjanjian itu maka sesunguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus.”

Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa dengan mendirikan sholat, kita akan selalu bersama Alloh dan jika kita menabung dengan cara berbuat kebaikan, kebaikan itu akan menghapuskan dosa. Jika dosa-dosa kita terhapuskan, jelas kita akan menjadi penghuni syurga. Jika kita mengerjakan sholat, Alloh akan menyertai kita. Coba bayangkan jika Alloh selalu menyertai kita, mungkinkah akan ada kesusahan atau kebingungan?

Contoh: Saat kita sedang dalam perjalanan jauh bersama majikan, pada saat lapar majikan mengajak kita makan, apakah kita akan khawatir dan akan kesulitan untuk membayar makanan yang kita makan? Secara jujur, kita akan mengatakan tidak karena semua makanan yang kita makan akan dijamin pembayarannya oleh majikan.


Contoh ini menegaskan kepada kita bahwa jika kita berjalan dengan majikan, kita akan tenang, apalagi jika kita selalu berjalan bersama Alloh. Sementara, Alloh pemilik segalanya. Kita tidak perlu merasa khawatir dan gelisah karena kita dijamin Alloh dan karena Alloh selalu menyertai kita. Itulah jaminan untuk orang yang mengerjakan sholat dengan benar.

Ayat ini juga menjelaskan bahwa jika kita tidak mendirikan sholat, perbuatan baik apa pun yang kita lakukan tidak akan termasuk perbuatan baik meskipun perbuatan itu pada pandangan manusia baik, misalnya kita menolong sesama manusia. Apabila kita tidak mendirikan sholat, perbuatan itu akan tertolak dan jelas kita akan menjadi penghuni neraka jahannam. Jadi, syarat untuk mengerjakan amal baik adalah mendirikan sholat terlebih dahulu. Sholat merupakan syarat mutlak untuk meraih nilai amal sholeh.

Mari kita simak ayat di bawah ini. (Q.S. 62: 9–10)


9. “Hai orang-orang yang beriman, jika kalian diseru untuk menunaikan sholat jum’at maka bergegaslah kalian mengingat Alloh dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengerti.
10. Apabila telah ditunaikan sholat maka berikhtiarlah kalian di muka bumi ini dan carilah karunia Alloh dan ingatlah Alloh sebanyak-banyaknya supaya kalian beruntung.


Ayat ini menegaskan kepada kita bahwa dengan sholat orang akan selalu ingat kepada Alloh. Dalam melakukan usaha apa pun kalau kita ingat kepada Alloh, semua usahanya akan menghasilkan keuntungan. Jadi, sholat mengandung pendidikan dan merupakan satu sarana untuk mendekatkan diri kepada Alloh.

Melihat ayat-ayat di atas, jelaslah bahwa makna sholat sangatlah dalam sehingga akan menghasilkan seorang hamba yang patuh dan ta’at kepada Tuhannya, akan menjadikan manusia-manusia yang tangguh dalam menghadapi segala permasalahan yang dihadapannya, bukan melahirkan manusia-manusia yang cengeng dan mudah putus asa. Demikian makna yang tersirat dalam sholat.

Untuk melaksanakan sholat, kita harus bersih dari junub. Kalau masih dalam keadaan junub, kita diharuskan untuk mandi terlebih dahulu setelah syarat yang kedua, yaitu berwudlu. (Q.S. 5: 6)


“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan sholat maka basuhlah muka kalian dan tangan kalian sampai sikut dan usaplah kepala kalian dan kaki kalian sampai mata kaki dan jika kalian dalam keadaan junub maka mandilah dan jika kalian sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan lalu tidak menemukan air, bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih), sapulah muka kalian dan tangan kalian dengan tanah. Alloh tidak hendak menyulitkan kalian, tetapi hendak membersihkan kalian dan hendak menyempurnakan nikmat-Nya bagi kalian supaya kalian bersyukur.”


Ayat ini mengandung makna bahwa kita harus melaksanakan perintah Alloh dalam keadaan bersih dan suci dari najis. Selain badan, tempatnya pun harus bersih dan suci. Pakaian yang kita kenakan pun harus menutup semua aurat, bersih, dan suci. Kita pun harus menghadap kiblat saat melaksanakan sholat. Aturan ini jelas tidak bisa ditolak, suka atau tidak suka, tetap harus diikuti.

Contoh: Pakaian sholat semua manusia sama, tidak mengenal bangsa juga adat dan tidak mengenal cuaca. Meskipun cuaca panas, perempuan harus berpakaian tertutup sehingga menutupi aurat.


Ini mengandung makna bahwa orang-orang yang beriman harus berpakaian sesuai dengan ketentuan Alloh. Laki-laki atau perempuan sama, mereka harus memenuhi kriteria yang sudah ditentukan. Berpakaian seperti itu membuktikan bahwa kita adalah manusia yang beriman. Sementara, orang yang berpakaian semau gue dan seenaknya dikategorikan dan digolongkan kepada manusia-manusia kafirin. Jadi, pada dasarnya, melaksanakan perintah Alloh harus sesuai dengan aturan-aturan yang sudah ditentukan Alloh. Kita tidak boleh membuat aturan baru, misalnya aturan yang berdasarkan adat istiadat suatu daerah..

Untuk menjaga kekhusukan kita dalam melaksanakan sholat, diperlukan satu pengorbanan dengan selalu melakukan atau mengerjakan sholat pada tempatnya, misalnya di masjid atau kita membangun mushola di rumah. Hendaknya, kamar tidak lebih besar dari mushola. Di mushola, kita siapkan pakaian khusus untuk sholat.

Contoh: Seorang kerabat dekat mengadakan walimahan dengan mengundang beberapa kerabat yang lainnya. Mereka datang dengan pakaian-pakaian khusus untuk undangan, sedangkan kita memakai pakaian olah raga. Akankah kita khusuk pada acara walimahan tadi? Lalu, saat acara makan, akankah kita khusuk saat makan sementara kita memakai baju yang tidak sesuai dan tidak sama dengan yang lain? Secara jujur, mungkin kita akan mengatakan tidak dan mungkin akan lekas pulang karena merasa malu terhadap tamu yang lain. Kita juga akan dinilai tidak menghormati tuan rumah.


Dari contoh tadi, jelaslah bahwa pakaian saja bisa membuat kita tidak khusuk dan dikatakan tidak menghormati. Dalam adat pergaulan sehari-hari, ada peraturan dan kita harus mengikuti dan mempersiapkannya: pakaian untuk kerja, pakaian untuk olah raga, pakaian untuk undangan, dan pakaian-pakaian yang lainnya. Yang paling penting, kita tidak boleh lupa menyediakan pakaian khusus untuk sholat yang bersih, baik, dan wangi. Saat membangun rumah pun kita tidak boleh lupa menyediakan ruang untuk mushola. Kadang, kita melupakannya. Padahal, kita sudah berjanji untuk mengabdi kepada Alloh. Sementara, tempat pengabdian kepada Alloh sendiri tidak dipersiapkan. Bagaimana bisa kita membuktikan bahwa kita adalah hamba Alloh kalau demikian? Oleh karena itu, sebaiknya hamba-hamba Alloh menyediakan mushola di dalam rumahnya lengkap dengan segala keperluannya yang bersih.

Dalam melaksanakan sholat, ada beberapa rukun yang tidak boleh ditinggalkan. Berikut akan diuraikan satu per satu.

1. Mengucapkan taqbir sambil mengangkat kedua tangan sama tingginya. Hal ini sesuai dengan Al hadits berikut.

‘An’abdillaahibni ‘umaro rodiyallohu’anhumaa an Rosulullohi kaana yarfa’u yadaihi hadzwamankibaini idzaa aftatahisholaata wa idzaa kabbaro lirukuu’I wa idzaa rofa’a ro-suhu minarrukuu’I rofa’haa kadzaalika aidhoo waqoola sami’alloohu liman hamidahu wa kaana laa yaf’al dzaalika filsujuudi

“Diriwayatkan dari Abdulloh bin Umar r.a. bahwa ketika melihat Rosululloh mengangkat kedua tangannya setinggi kedua pundaknya, begitu pula ketika bertaqbir hendak ruku’ dan ketika mengangkat kepala pada saat ruku’ dengan mengucapkan ‘Sami Alloh hu liman hamida hu’, Rosululloh tidak mengangkat tangan ketika sujud.” (H.R. Bukhori)

Hadits ini menegaskan kepada kita bahwa sholat dimulai dengan membaca taqbir sambil mengangkat kedua tangan setinggi kedua pundak. Ucapan “Allohu akbar“ menyatakan bahwa Allohlah yang memiliki kebesaran dan kita adalah do’if. Kita kecil di hadapan Alloh. Pernyataan ini mengandung arti bahwa sesungguhnya kita tidak boleh sombong, tidak boleh tinggi hati. Mengangkat kedua tangan berarti penyerahan diri sepenuhnya kepada Alloh juga penyerahan diri sepenuhnya terhadap hukum-hukum-Nya.
Aturan dan tata cara melaksanakan sholat sama untuk semua golongan. Si kaya, si miskin, pejabat, ataupun rakyat mengucapkan kalimat yang sama dan menggerakan tangan dengan sama, tidak berbeda. Ini mengandung makna bahwa sesungguhnya di hadapan Alloh, manusia sama. Di hadapannya, kita tidak dibedakan dari kasta dan kedudukan. Jadi, seandainya setelah mengerjakan sholat, seseorang masih sombong, masih membedakan kedudukan, dan masih merasa dirinya lebih dari yang lain, sholatnya dilakukan dalam keadaan mabuk. Ia tidak mengerti apa yang diucapkannya.


2. Membaca Fatihah


‘An ‘ubaadatabnishoomiti rodiyallohu’anhu anna rosuulullohi qoola laashoolaata liman lam yaqro-u bifaatihatilkitaabi.


“Diriwayatkan dari Hubdah bin Ash-samit r.a. bahwa Rosululloh pernah bersabda, ‘Tidak sah sholatnya orang yang tidak membaca fatihah.’“. (H.R. Bukhori)


Al-Hadits ini menegaskan bahwa bacaan yang merupakan rukun dalam sholat adalah surat Al-Fatihah. Dengan kata lain, kita diharuskan mengerti kandungan surat Fatihah sebagaimana tercantum dalm ayat di bawah ini.(Q.S. 15: 87)



“Dan, sesungguhnya telah Kami turunkan kepadamu tujuh ayat yang dibacakan berulang-ulang karena bacaan itu agung.”


Dengan menyimak ayat ini, jelaslah bahwa surat fatihah diturunkan dan dibacakan secara berulang-ulang. Maksudnya dibacakan adalah bukan dibacakan saja, tetapi diajarkannya secara berulang. Ini karena menurut qaol ulama, di dalam fatihah terdapat kumpulan makna dari 30 juz dalam Al-Qur’an. Ada juga yang mengatakan bahwa fatihah adalah umul kitab. Maka, jelaslah bahwa fatihah mengandung makna yang sangat dalam sehingga merupakan rukun sholat. Dan, tidak sah sholat tanpa bacaan suratul fatihah.

Mari kita simak cuplikan ayat yang mengatakan Uyyaka na’budu yang terjamahannya “Hanya kepada Engkaulah kami beribadah.“ Ini berarti bahwa kami akan mengabdi hanya kepada Alloh, bukan kepada siapa-siapa. Secara tidak langsung, ini merupakan satu pernyataan bahwa sesungguhnya hanya Allohlah majikan kami. Jadi, yang akan diturut dan dipatuhi perintah dan larangannya hanyalah perintah dan larangan Alloh. Jadi, orang yang mengerti, setelah mengerjakan sholat akan melaksanakan segala sesuatunya sesuai dengan perintah Alloh, bukan bergerak atas hawa napsunya. Inilah inti kalimat “Iyyaa Ka na’ budu“.

Cuplikan berikutnya berarti Wiyyaka nasta’inu “Hanya kepada Engkaulah kami minta pertolongan“. Artinya, hanya Allohlah pemilik pertolongan. Jadi, kita tidak bisa meminta pertolongan kepada siapa pun dalam melaksanakan peribadatan. Kita hanya bisa dan boleh meminta pertolongan Alloh. Jelasnya, kita tidak bisa mempergunakan hukum-hukum sendiri dalam melaksanakan peribadahan kepada Alloh, melainkan hanya melalui hukum-hukum-Nya. Jadi, melaksanakan sesuatu peribadahan harus sesuai dengan perintah–Nya, yakni hukum-hukum yang tertera dalam Al-Qur’an. Dengan kata lain, kita harus mengerti isi dan kandungan Al-Qur’an.

Rukun sholat diakhiri dengan mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri. Ini mengandung arti bahwa orang muslim harus baik kepada siapa pun dalam hablum minannas atau dalam hubungan kemanusiaan. Orang-orang muslim selalu baik kepada golongan kanan atau golongan kiri karena mereka semua makhluk Alloh. Hal ini sesuai dengan ayat di bawah ini. (Q.S. 25: 63)



“Dan, hamba-hamba Tuhan yang Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.”

Inilah sikap yang harus dimiliki oleh hamba-hamba Alloh. Jadi, kalau seandainya orang-orang yang telah melaksanakan sholat tidak berwatak demikian, sia-sialah sholatnya. Ia tidak akan mendapatkan pahala, melainkan mendapatkan adzab dari Alloh.

Sholat pun mengajarkan kepada kita keselarasan dalam kehidupan sehari-hari, yakni mendidik kita untuk selalu berjamaah, selalu bersama, tidak saling mendahului dan selalu mendengarkan komando ketika imam sujud. Semua makmum harus patuh dan taat dalam mengikuti gerakan imam. Tidak ada perbedaan antara yang kaya dan yang miskin, yang pintar dan yang bodoh. Semua serentak dalam satu irama yang sama. Ketika imam salah, seorang makmum yang tahu mengingatkan dengan bahasa yang lembut dengan ucapan “Subhanalloh“ dan imam dengan sadar hati mengakui kesalahannya. Dia tidak pernah melihat ke belakang untuk mengetahui yang mengingatkan tadi si kaya atau si miskin, anak-anak atau orang tua. Yang penting, dia tahu bahwa imam salah dan tidak ada niat dalam diri makmum untuk menggantikan posisi imam tadi. Dia memperingatkan dengan sepenuh hati dan karena Alloh, bukan karena mengharap pujian atau apapun. Inilah pendidikan yang harus kita terapkan dalam keseharian baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam bernegara.

Seorang pemimpin harus mengarahkan yang dipimpinnya ke jalan yang benar. Lalu, ketika pemimpin itu keluar dari jalannya, rakyat wajib memberi tahu agar dia kembali ke jalan yang benar. Seorang pemimpin pun jika diingatkan jangan merasa paling benar. Dia harus menyadari bahwa tidak mungkin rakyat menegur jika dia tidak keluar dari jalur kepemimpinannya. Rakyat pun hendaknya memperingatkan dengan baik, bukan dengan hujatan-hujatan dan bukan karena ingin mengganti kedudukan pemimpin tadi, tetapi demi terwujudnya negara yang aman dan makmur.

Dalam kehidupan keluarga, seorang suami sebagai seorang pemimpin harus mau dikoreksi oleh rakyatnya, yakni oleh anak dan istrinya. Jika keluar dari aturan-aturan Alloh dan Rosulnya, anak dan istri mempunyai hak untuk mengingatkan pemimpinnya dan seorang pemimpin harus menyadari kesalahannya. Dia hjarus memperbaikinya dan meminta maaf atas kesalahnnya. Rakyat (anak dan istri) harus mengikuti arahan-arahan pemimpinnya selama masih dalam jalan yang benar. Inilah hikmah sholat. Jika hal ini dilaksanakan, alangkah indahnya dan alangkah tentramnya kehidupan kita sehari-hari.

Melaksanakan sholat adalah ketentuan Alloh yang ditentukan waktunya sesuai dengan ayat di bawah ini. (Q.S. 4: 103)


“Maka, apabila kalian telah menyelesaikan sholat, ingatlah Alloh di waktu berdiri, di waktu duduk, dan di waktu berbaring. Kemudian, apabila kalian telah merasa aman maka dirikanlah sholat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya, sholat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”


Ayat ini menegaskan kepada kita bahwa sesungguhnya sholat tidak bisa ditinggalkan sebagaimana diperintahkan, “Dan, ingatlah Alloh di waktu berdiri, di waktu duduk, di waktu berbaring.“ Ini menandakan bahwa dalam keadaan apa pun, kita tidak boleh meninggalkan sholat meskipun hanya bisa dengan berdiri saja, hanya bisa dengan duduk saja, ataupun hanya bisa dengan berbaring. Ini makna yang tersirat dalam ayat ini. Mengapa dinisbatkan kepada sholat ingat di sini.? Sebab ayat yang berikutnya mengatakan. “Kemudian, setelah kalian merasa aman maka dirikanlah sholat.“
Adapun waktu-waktu yang telah ditentukan Alloh dalam melaksanakan sholat sebagai berikut. (Q.S. 17: 78)



“Dirikanlah sholat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula sholat) subuh. Sesungguhnya, sholat subuh itu disaksikan.”
Kita simak juga ayat berikut. (Q.S. 11: 114)



“Dan, dirikanlah sholat itu pada kedua tepi siang dan pada bagian permulaan dari pada malam. Sesungguhnya, perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.”


Simak pula ayat berikut. (Q.S. 30: 17–18)



17. “Maka, sucikanlah Alloh di waktu kalian berada di petang hari dan waktu kalian berada di waktu subuh.
18. Dan, milik-Nyalah puji itu di langit dan di bumi dan di waktu kalian berada pada waktu Isya dan di waktu kalian berada di waktu Dzuhur.”


Dalam ayat ke-17, dikatakan bahwa “Sucikanlah Alloh.“. Di sini, maksudnya harus benar-benar hanya Alloh yang ada pada hati kita. Dengan kata lain, kita harus benar-benar mengingat Alloh, yakni ingat akan perintah Alloh karena pada waktu-waktu tertentu ada perintah untuk mendirikan sholat.
Ayat-ayat di atas menegaskan bahwa sholat terbagi dalam waktu-waktu yang telah ditentukan Alloh. Jadi, kita tidak bisa sembarangan melaksanakan sholat karena sudah ditentukan waktunya.

Adapun waktu waktu sholat menurut Al-Hadits adalah sebagai berikut.

‘An muhammadibni ‘amri. Qoola: lammaa qodimalhajjaahul madiinata , fasa-alanaa jaabiirubnu ‘abdillaahi.? Faqoola: kaana rosuululloohi yushollidluhro bilhaajirota, wal’ashri wasyamsu nariyatan, walmaghriba waidzaa wajabat, wal ‘asyaa-a ahyaanaa yu-akhruhaa wa ayaanaa yu’ajjalu, kaana idzaa roohum qodijtama’uu, ‘ajjala, waidzaa roohum qod abthou-uu akhorro, washubha kaanuu,au qoola: kaananNabiyyu yushollaihaa bifalasi akhorjahalkhooro.

“Diriwayatkan dari Muhammad bin Amru, ia berkata: Ketika jamaah haji sampai di Madinah, kami bertanya kepada Jabir bin Abdulloh r.a.. Kata Jabir: Rosululloh senantiasa melakukan sholat Dzuhur ketika matahari condong sedikit ke barat, salat Ashar ketika matahari masih bersih (belum merah), sholat Magrib ketika matahari telah terbenam, sholat Isya kadang-kadang beliau mengakhirkannya. Apabila beliau melihat orang-orang telah berkumpul maka beliau menyegerakan sholat Isya dan apabila beliau melihat orang-orang lambat maka beliau mengakhirkannya menurut kondisi mereka atau kata Jabir bin Abdulloh, Nabi biasanya mengerjakan sholat Shubuh ketika hari masih gelap.” (H.R. Bukhori–Muslim)


Hadits ini mengisaratkan kepada kita bahwa waktu sholat Shubuh pada saat masih gelap, yakni pada saat terbit fajar atau keadaan masih gelap


Waktu sholat Dzuhur tercantum dalam hadits berikut..


‘An khobaaba rodiyallohu’anhu qoola: atainaa Rosulullohi, fasyakuuna ilaihi harorrorromdhoo-I, falam yusykina. Qoola zuhairu: qultu liabii ishaaqo: afiidldluhhri.? Na’am, qultu: afii ta’jiiliha.? Qoola: na’am.

“Diriwayatkan dari Khabbab r.a., ia berkata: Kami datang kepada Rosululloh lalu kami mengadu mengenai teriknya matahari, namun beliau tidak menerima pengaduan kami (untuk penundaan waktu DDzuhur). Kata Zuhair: Saya bertanya kepada Abu Ishak. “Apakah sudah DDzuhur?“ Dia menjawab, “Ya“ Saya bertanya lagi, “Apakah segera lakukan sholat?” Dia menjawab “Ya“.” (H.R. Muslim)


Hadits ini menerangkan waktu Dzuhur adalah setelah tergelincir matahari, yakni dari tengah-tengah atau ketika matahari di atas kepala, menggelincir sedikit ke barat. Maka, saat itu adalah saat masuk waktu sholat Dzuhur.

Sementara itu, waktu masuknya sholat Ashar dijelaskan dalam hadits berikut..


‘An annasibni maaliki rodiyallohu’anhu, Rosululloohi kaana yusholliil’ashri wasyamsu murtafi’atun, fayadzhabuldzahibu ilal’awwaalii faya-tilawaaliya wasyamsu murtafi’atun.

“Diriwayatkan dari Annas bin Malik r.a., bahwasannya Rosululloh melakukan sholat Ashar ketika matahari masih tinggi dan panas kemudian seseorang pergi ke puncak yang tinggi lalu sampai disana pun matahari masih tinggi.” (H.R. Bukhori-Muslim)


Hadits ini menyatakan bahwa waktu sholat Ashar ketika matahari masih di atas atau ketika matahari tergelincir dan masih di atas, yakni ketika bayangan seseorang sama tingginya dengan orang tadi. Maka, pada saat itu sudah masuk waktu Ashar.

Waktu masuk sholat Magrib dijelaskan dalam hadits berikut.


‘An salamatabnilakwaa’I roduyallohu’anhu, Anna Rosululloohi. Kaana yushollilmaghribi idzaa ghorobatisysyamsu watawaarotun.

“Diriwayatkan dari Salamah binti Al-akwaa, r.a. bahwasannya Rosululloh biasa melakukan sholat Maghrib setelah matahari terbenam dan tidak tampak.” (H.R. Bukhori-Muslim)

Hadits ini menerangkan kepada kita bahwa waktu sholat Maghrib adalah setelah masuk matahari dan matahari tersebut sudah tidak terlihat. Yang jelas, waktu sholat Magrib adalah ketika kita sudah tidak membedakan warna putih dan hitam. Ada juga keterangan yang menerangkan bahwa waktu sholat Magrib apabila kita melemparkan anak panah dan anak panah tersebut tidak bisa terlihat jatuhnya Itulah saat sholat Magrib.

Waktu sholat Isya menurut Al-hadits sebagai berikut.


‘An‘aisyatarodiyalloohu’anhaaqoolat:a’tamanNabiyyu, dzaata lailata hattaa dzahaba ‘ammatu laili, wa hattaa naama ahlulmasjidi,tsumma fasholla, faqoola: innahu lawaqtuhaa, laulaa anna asyuqo ‘alaa ‘ummatii.

“Diriwayatkan oleh Aisyah r.a. ia berkata: Pada suatu malam, Nabi lambat keluar untuk sholat Isya hingga sebagian malam telah berlalu dan orang-orang di masjid sudah tidur. Kemudian, beliau keluar untuk sholat Isya lalu beliau bersabda: “Sebenarnya, inilah waktu jamaah sholat Isya yang utama kalau aku tidak khawatir memberatkan umatku.“ (H.R. Bukhori-Muslim)

Hadits ini menerangkan bahwa sholat Isya baik dilaksanakan sebelum memasuki tengah malam. Hadits ini juga menerangkan bahwasan masjid diperbolehkan untuk dipakai tidur karena sebagian orang ada yang melarang masjid dipakai tidur. Kalau tidur di masjid, orang tidak akan mungkin terlambat sholat Shubuh.


Waktu Sholat subuh menurut Al-hadits


‘An anaasi rodiyallohu’anhu: Anna zaidabni tsaabiti rodiyalloohu ‘anhu haddatsahu: Annahum nasahharuu ma’annabiyyii tsumma qoomuu ilaa shsholaati: Qultu: Kam kaana bainahumaa.? Qoola: Qodru khomsiina au sittiina ya’nii ayatan.

Diriwayatkan dari Anas .ra. bahwa Zaid bin tsabit mengatakan kepadanya: Para sahabat makan sahur bersama Nabi,kemudian mereka melaksanakan sholat subuh. Saya bertanya:Berapa jarak waktu antara makan sahur dengan sholat subuh.? Zaid bintsabit menjawab. Kira-kira bacaan 50 atau 60 ayat. ( H.R.Bukhori )

Demikianlah waktu-waktu sholat yang telah ditentukan Alloh. Adapun alasan sholat Isya tidak boleh melewati tengah malam adalah karena di waktu itu ada perintah lain. Lebih jelasnya, kita simak ayat berikut. (Q.S. 17: 79)



“Dan, pada sebagian malam hari bertahajudlah kamu Nafilatan bagimu; Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.”


Ayat ini mengatakan bahwa di malam hari ada sholat lain selain Isya, yakni Tahajjud. Maka, sholat Isya tidak boleh diakhirkan hingga melewati waktu tengah malam.

Lalu, apa pahala (balasan) bagi orang-orang yang mengerjakan sholat? Simaklah ayat berikut. (Q.S. 23: 8–11)



8. “Dan, orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya
9. dan orang-orang yang memelihara sholatnya,
10. mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi,
11. (yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.”


Inilah balasan bagi orang-orang yang memelihara sholatnya, yakni mewarisi syurga dan akan kekal di dalamnya. Aadapun memelihara di sini bukan hanya melaksanakan rukuk dan sujud, tapi jelas setelah melaksanakan rukuk dan sujud, dia mampu memelihara ketaatannya kepada Alloh dan Rosul-Nya. Ia mengerti dan bertanggung jawab akan sholatnya. Jadi, orang-orang yang memelihara sholatnya adalah orang-orang yang tidak melaksanakan kemungkaran dan tidak melaksanakan kekejian sesuai dengan pesan moral yang tersirat dalam sholat tadi. Perhatikan Al-Hadits berikut.


‘An‘abdillahibnilas’uudirodiyallohu’anhu,qoola:sa-altu Rosululloohi: ayyu ‘amala afdolu? Qoola: asholaatu liwaqtihaa, qoola: qultu tsumma ayyu? birrul waalidaini, qoola: tsumma ayyu? Aljihaadu fii sabilillahi famaa taroktu astaziduhu illaa ir’aa-a ‘alaihi

“Diriwayatkan dari Abduloh bin Mas’ud r.a.: Saya pernah bertanya pada Rosululloh: Amal apa yang paling utama? Beliau menjawab: Sholat tepat pada waktunya. Saya bertanya lagi: Kemudian amal apa lagi? Beliau menjawab: Berbuat baik kepada kedua orang tua. Saya bertanya lagi: Berikutnya amal apa? Beliau menjawab: Bersungguh-sungguh di jalan Alloh. Maka, tidaklah saya melanjutkan pertanyaan lagi kecuali menjaga hal tersebut.” (H.R. Bukhori-Muslim)

Hadits ini menegaskan bahwa sholat adalah gerbang utama untuk melaksanakan kebaikan-kebaikan yang lain. Jadi, kalau kita telah mengerjakan sholat, perbuatan-perbuatan yang lain seperti berbuat baik kepada orang tua bisa tercatat sebagai amal baik. Demikianlah pahala atau nilai sholat.

Lalu, apa balasan bagi orang yang meninggalkan sholat secara sengaja? Perhatikan ayat berikut. (Q.S. 19: 59)


“Maka, datanglah sesudah mereka pengganti yang menyia-nyiakan sholat dan memperturutkan hawa napsunya. Maka, mereka kelak akan menemui kesesatan.”


Ayat ini menegaskan bahwa jika orang menyia-nyiakan sholatnya, dia pasti akan menemukan kesesatan. Ini merupakan suatu kepastian. Jika kita berbuat demikian, jelaslah kita dalam kesesatan dan segala amal yang kita perbuat menjadi sia-sia. Kalau hanya sia-sia mungkin tidak menjadi masalah, tapi amalan tadi tidak tercatat menjadi amal baik. Kalau tidak tercatat sebagai amal baik, pasti tercatat menjadi amal jelek dan niscaya akan menghasilkan neraka. Perhatikan hadits berikut.


‘An jaabiri rodiyalloohu’anhu, qoola: sami’tu rosuululloohi: bainarrojuuli wa bainasyarki wa lkafiri, tarku sholaata.

“Diriwayatkan dari Jabir r.a. ia berkata: Saya pernah mendengar Rosululloh bersabda: Batas antara seseorang dengan syirik dan kafir adalah meninggalkan sholat.” (Muslim)


Hadits ini memperjelas kepada kita bahwa sesungguhnya perbedaan antara orang musyrik, orang kafir, dan orang beriman adalah sholat. Maka, jika orang yang mengaku beriman kepada Alloh dan kepada Rosul-Nya tidak mengerjakan sholat, mereka termasuk orang-orang kafir dan musyrik. Jadi, meskipun mereka mengerjakan segala perbuatan, mereka tidak akan mendapatkan pahala, malah akan mendapatkan dosa karena disejajarkan dengan orang-orang yang kafir dan musyrik.

Zakat












Harta merupakan satu kebutuhan yang menopang kehidupan kita sehari-hari. Namun, harta juga bisa mengubah sikap dan perilaku manusia. Oleh karena itu, Alloh menegaskan dalam Al-qur’an sebagai berikut. (Q.S. 4: 5–6)


5. “Dan, janganlah kalian serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaan kalian) yang dijadikan Alloh sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.
6. Dan, ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian, jika menurut pendapat kalian mereka telah cerdas (pandai memelihara harta) maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan, janganlah kalian makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kalian) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian, apabila kalian menyerahkan harta kepada mereka maka hendaklah kalian adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan, cukuplah Alloh sebagai Pengawas (atas persaksian itu).”

Dengan menyimak ayat ini, jelas kita harus berhati-hati terhadap harta sebab harta dapat mengubah sikap seseorang dari yang tadinya beriman kepada Alloh dan Rosul-Nya menjadi ingkar, seperti sahabat Nabi, yakni Sa’labah. Tadinya, ia patuh dan taat, namun menjadi pembangkang akibat harta. Maka, kalau seandainya harta ini dipegang oleh orang yang belum dewasa, dalam artian belum dewasa dalam keilmuannya, bukan dewasa dalam masalah umur, harta itu akan menjerumuskannya ke dalam jurang neraka yang sangat dalam. Akan tetapi, jika harta dipegang oleh orang yang dewasa, harta tersebut akan membawanya ke dalam kenikmatan syurga. Harta tersebut dapat mengubah sikap seseorang seperti tercantum dalam ayat berikut. (Q.S. 68: 10-16)



10. “Dan, janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina,
11. yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah,
12 yang banyak menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa,
13. yang kaku kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya
14. karena dia mempunyai (banyak) harta dan anak.
15. Apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, ia berkata: "(Ini adalah) dongeng-dongengan orang-orang dahulu kala."
16. Kelak, akan Kami beri tanda dia di belalai(nya).”

Dari ayat, jelas sekali bahwa harta membuat yang tadinya lemah menjadi keras dan kaku. Dia akan menentukan sikap dan ketentuan yang tidak bisa diubah. Dia akan mengikuti hawa napsunya belaka. Selain itu, dengan harta, mereka akan menghimpun anak buah sehingga dia akan berkuasa dan menentukan sikapnya sendiri, tanpa mengindahkan hukum-hukum Alloh. Dan, jika diberitakan kepada dia untuk mengeluarkan kewajiban-kewajibannya, dia akan banyak berkilah. Oleh karena itu, Alloh melarang kita mengikuti orang-orang yang demikian karena akan memengaruhi kita dan membelokkan kita ke jalan yang salah. Namun, bukan berarti kita tidak boleh mengikuti orang yang berharta atau kita tidak boleh kaya, tetapi kita tidak boleh mengikuti orang kaya yang melakukan kesalahan seperti contoh tadi.
Itulah harta. Jika kita salah atau kurang dewasa, harta akan mencelakakan kita dunia dan akhirat. Akan tetapi, jika kita dewasa dalam pemikiran, harta akan membawa kita kepada kenikmatan dunia dan akhirat.
Harta juga merupakan satu perangkap syaiton yang sangat efektif untuk memperdaya orang-orang yang beriman sehingga orang-orang yang beriman akan terlena dan terbius oleh harta tersebut. Oleh karena itu, Alloh memperingatkan kita dalam ayat berikut. (Q.S. 3: 14)



“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allohlah tempat kembali yang baik (syurga).”

Dalam ayat yang lain juga dijelaskan sebagai berikut. (Q.S. 8: 28)



“Dan, ketahuilah bahwa harta kalian dan anak-anak kalian itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allohlah pahala yang besar.”


Ayat ini menegaskan bahwa manusia dihiasi dengan kecintaannya terhadap kesenangan hawa napsunya. Di sini, harta sangat berperan besar untuk mengabulkan semua keinginan hawa napsu tadi. Oleh karena itu, kita diperingati bahwa di sisi Alloh adalah pengembalian yang sangat baik supaya manusia tidak selalu mengikuti hawa napsunya. Mengelola harta harus sesuai dengan yang diperintahkan oleh Alloh dan Rosul-Nya. Perhatikan ayat berikut. (Q.S. 9: 25)


“Katakanlah: ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kalian sukai adalah lebih kalian cintai dari Alloh dan Rosul-Nya dan dari berjihad di jalan Nya maka tunggulah sampai Alloh mendatangkan keputusan- Nya.’ Dan, Alloh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”


Di sini, lebih tegas lagi dijelaskan bahwasannya kalau kita lebih mencintai harta daripada Alloh dan Rosul-nya, kita tergolong orang-orang yang fasik. Seseorang yang sikap dan perilakunya menjadi sombong juga kaku setelah berharta, berarti termasuk orang yang lebih mencintai hartanya ketimbang Alloh dan Rosul-Nya. Jika orang lebih mencintai Alloh dan Rosul-Nya, harta yang dimilikinya tidak akan mengubah sikapnya menjadi sombong, malah akan mengubah sikapnya menjadi lebih tawado karena mereka tahu bahwa segala sesuatunya milik Alloh. Dia akan membuktikan kecintaannya kepada Alloh dengan memperlakukan semua manusia sama, dengan penuh kasih saying. Dia pun akan menjaga amanah dengan lebih mementingkan orang-orang yang faqir karena itulah yang diamanatkan Alloh, yakni memberi makan dan menyejahterakan kehidupan faqir dan miskin. Jadi, hartanya tidak dijadikan alat kesombongan dan tidak pula dijadikan alat pemuas hawa napsunya.

Karena harta juga sebagai alat untuk menopang kelangsungan hidup manusia dan untuk menopang pengabdian kita kepada Alloh dan Rosul-Nya, tanpa harta, orang beriman pun akan menjadi kafir karena sesuai perkataan Rosul, kemiskinan akan mengakibatkan kekafiran. Oleh karena itu, Alloh memerintahkan kita untuk mencari harta. Simaklah ayat berikut. (Q.S. 62: 10)



“Apabila telah ditunaikan sholat maka bertebaranlah kalian di muka bumi; dan carilah karunia Alloh dan ingatlah Alloh banyak-banyak supaya kalian beruntung.”


Bila menyimak ayat ini, jelaslah bahwa yang diperintahkan untuk berikhtiar adalah orang yang sudah menunaikan kewajibannya, yakni mengerjakan sholat. Jadi, tidak selamanya orang yang berikhtiar tergolong orang yang beriman. Apabila kita tidak melaksanakan sholat, kita sama dengan orang lain atau mungkin sama dengan binatang-binatang melata di muka bumi ini yang sama-sama mencari makan untuk kepentingan pribadinya dan anak-anaknya juga untuk kelangsungan hidup mereka. Jadi, perbedaan manusia dengan hewan melata yakni manusia mencari rezeki setelah melaksanakan perintah sholat. Manusia mengawali hari dengan melaksanakan sholat Subuh. Jika tidak melaksanakan sholat Subuh lalu mencari rezeki dan karunia Alloh, mungkin kita sama dengan binatang melata yang begitu membuka mata langsung mencari makan karena mereka tidak diperintahkan untuk melaksanakan sholat.

Bagi manusia-manusia yang beriman kepada Alloh dan Rosul-Nya, dalam mencari harta, ada beberapa aturan yang harus ditaati. Ini adalah aturan yang sudah baku dari Alloh yang tercantum dalam ayat berikut. (Q.S. 26: 181–183)



181. Sempurnakanlah takaran dan janganlah kalian termasuk orang-orang yang merugikan;
182 Dan, timbanglah dengan timbangan yang lurus.
183.Dan, janganlah kalian merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kalian merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan.


Ayat ini memperingatkan kepada kita bahwa sesungguhnya orang-orang yang beriman kepada Alloh dan Rosul-Nya dalam mencari kekayaan atau harta tidak bisa seenaknya. Ini berlaku untuk segala bidang, bukan hanya berdagang, tetapi dalam hal apa pun, berdagang, berwiraswasta, atau sebagai pekerja. Kita tidak boleh merugikan orang lain dan tidak boleh rugi akibat perbuatan orang lain. Jadi, kita harus menyempurnakan takaran dan menimbang dengan timbangan yang lurus. Seorang pedagang harus memakai timbangan yang benar, tidak membebani satu sisi, bebannya harus sama. Jika seorang ahli hokum, kita harus menimbang dengan timbangan yang lurus, tidak dibebani dengan rasa cinta atau rasa benci. Jika sebagai seorang pengusaha, kita harus menimbang dengan timbangan yang lurus, yakni mempekerjakan orang sesuai dengan kemampuan dan ilmunya. Kita pun membayar sesuai dengan tingkat kemampuan ilmunya. Demikian juga dengan hal-hal yang lainnya. Jadi, hukum ini bukan berlaku kepada pedagang saja, tapi berlaku kepada setiap orang yang berikhtiar di muka bumi ini karena kita selalu mencari keridhoan Alloh, bukan keridhoan manusia.

Lalu, bagaimana jika kita melanggarnya? Perhatikan ayat di bawah ini. (Q.S. 83: 1–3)



1. celaka besarlah bagi orang-orang yang curang,
2. (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi.
3. apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.”

Ayat ini mengandung arti yang sangat mendalam, yakni dalam jual beli, pembeli tidak boleh mutoffifin (curang), misalnya takaran barang ingin dipenuhi atau bahkan minta tambah, menawar barang dengan serendah-rendahnya, dan meminta diskon sehingga akan menimbulkan kerugian bagi penjual. Demikian juga kalau kita seorang pekerja, kita tidak boleh meminta bayaran yang lebih (ditambah), sedangkan kita bekerja tidak sesuai dengan keinginan pemberi kerja. Sebaliknya, jika mempekerjakan orang lain, kita ingin membayar upah dengan semurah-murahnya. Hal-hal seperti itulah yang dikatakan mutoffifin ( curang ). Jadi, kata curang bukan hanya berlaku bagi penjual atau pembeli, tapi berlaku bagi setiap orang yang melaksanakan roda perekonomian di dunia ini.

Demikianlah Alloh menegaskan kepada orang-orang yang beriman agar tercipta keselarasan dan keseimbangan dalam melaksanakan kehidupan kita sehari-hari.

Dalam mengeluarkan harta pun, orang-orang beriman tidak boleh seenaknya. Ada aturan-aturan yang mengikat sebagaimana tercantum dalam ayat di bawah ini. (Q.S. 2: 215)



“Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kalian nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat dekat yang akrab, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." Dan, apa saja kebaikan yang kalian buat maka sesungguhnya Alloh mengetahuinya.”

Menurut ayat ini, yang pertama kali harus dinafkahi adalah orang tua lalu kerabat yang akrab. Jadi, dalam hal ini, Islam mengajarkan kepada kita untuk peduli terhadap keluarga. Sebelum melangkah ke luar, kita diperintahkan untuk memperkuat ketahanan perekonomian dalam keluarga terlebih dahulu supaya tidak mudah terserang kekafiran karena kemiskinan. Yang jelas, Islam tidak mengajarkan politik mercusuar. Perhatikan ayat di bawah ini. (Q.S. 25: 67)



“Dan, orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan dan tidak (pula) kikir dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.”


Jadi, menurut ayat ini, hamba-hamba Alloh adalah jika dia menafkahkan hartanya tidak terlalu loyal dan tidak kikir. Namun, yang jelas, dalam mengeluarkan harta, hamba-hamba Alloh harus penuh penghitungan karena dia menyadari bahwa hartanya adalah milik Alloh. sehingga hartanya pun dipakai untuk melaksanakan program-program Alloh dan Rosul-Nya.

Ancaman Alloh bagi orang-orang yang menyimpan harta dan mendapatkannya dengan cara yang salah tercantum dalam ayat berikut. (Q.S. 9: 34-35)



34. orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasoro benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Alloh. Dan, orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Alloh maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih
35. hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta benda kalian yang kalian simpan untuk diri kalian sendiri. Maka, rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kalian simpan itu."


Jika menyimak ayat ini, sebagai hamba Alloh, dalam mencari harta dan kekayaan, kita harus benar-benar penuh penghitungan. Kita juga dituntut untuk mempelajari ilmu perniagaan secara baik, tidak hanya memperhitungkan keuntungannya, tetapi yang kita kejar adalah keridhoan-Nya. Namun, itu bukan berarti kita tidak boleh mengharapkan keuntungan. Untuk apa berniaga kalau akhirnya rugi? Maksudnya, mencari keuntungan harus sesuai dengan aturan Alloh.

Ayat di atas juga bukan berarti melarang kita menyimpan harta. Kita boleh menyimpan harta setelah kita mengeluarkan hak-hak atas harta tersebut sebab telah diperintahkan “Nafkahkanlah sebagian daripada rezeki yang telah Aku berikan kepadamu.“ Kata sebagian inilah yang mengandung arti bahwa sebagian harta yang lain (yang tidak dinafkahkan) harus kita tabungkan untuk masa yang akan datang dan mungkin juga untuk membekali anak dan keturunan kita supaya melahirkan generasi-generasi penerus yang kuat baik dalam dalam ilmu pengetahuan, keagamaan, atau kekuatan perekonomiannya sehingga generasi penerus kita mampu meneruskan syiar-syiar Islam dengan tenang.

Ada beberapa kewajiban yang perlu kita lakukan terhadap harta atau rezeki yang telah Alloh berikan kepada kita. Kewajiban-kewajiban ini sesuai dengan ayat berikut. (Q.S. 2: 3)



“Yakni orang-orang beriman dengan ghoibnya dan mendirikan sholat serta mendatangkan kebaikan dan menafkahkan sebahagian rezekinya.”


Menafkahkan sebagian rezeki di sini berarti memberi zakat untuk membersihkan harta kita. Hal ini tercantum dalam ayat berikut. (Q.S. 30: 38)



“Maka, berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada faqir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhoan Alloh; dan mereka itulah orang-orang beruntung.” (Q.S. 51: 19)


“Dan, pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.”


Kalau kita simak ayat ini, jelaslah bahwa di dalam harta yang kita dapatkan, ada hak orang lain yang harus dikeluarkan. Hak orang lain itu harus kita berikan melalui sarana yang disediakan Alloh. Zakat adalah sarana tersebut. Zakat merupakan pembersih. Setelah mendapatkan harta, kita berkewajiban membersihkannya dengan cara mengeluarkan hak-hak orang lain. Ayat yang lain menegaskannya sebagai berikut. (Q.S. 6: 141)



“Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada faqir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya, Alloh tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”


Ayat ini mempertegas bahwa jelas-jelas pada saat kita memetik hasilnya ada sebagian hak faqir miskin yang harus kita keluarkan. Dalam ayat ini, hanya digambarkan bagi pemilik kebun, padahal hukum ini menyeluruh bagi setiap orang yang memiliki penghasilan, apakah itu hasil pertanian, perkebunan, peternakan, ataupun harta yang dihasilkan melalui bekerja. Dalam harta tersebut, ada hak faqir miskin yang harus dikeluarkan sebagai pembersih yang disebut dengan zakat. Zakat mutlaq harus dikeluarkan. Jika tidak dikeluarkan, harta tersebut masih dalam keadaan kotor dan belum bisa dipergunakan.

Lalu, siapa yang berhak menerima zakat? Untuk menjawabnya, perhatikan ayat berikut. (Q.S. 9: 60)



“Sesungguhnya, zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang faqir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Alloh, dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Alloh karena Alloh yang memberi tahu dan yang menghukum.”

Adapun kriteria miskin menurut Al-Hadits adalah sebagai berikut.



‘An abiihurairota rodiyallhu’anhu , anna rosuululloohi, qoola: laisalmiskiinu bihaadzaththowaafu ‘alannaasi, fatarodduhullaqmati walllaqmataani, watamrotu wattamrotaani. Qooluu: famaalmiskiina yaa rosuululloohi. Qoola: laa yajidu ghonni yuftiihi, wa laa yuftanu lahu fayushoddaqu ‘alaihi, wa laa yas-alunnaasa syaian.


“Diriwayatkan dari Abu Hurairoh r.a. bahwasannya Rosululloh pernah bersabda: Orang miskin itu bukan orang yang berkeliling untuk meminta-minta kepada orang lain lalu dia mendapatkan sesuap atau dua suap makanan serta satu atau dua butir kurma. Para sahabat bertanya, lalu siapakah orang miskin itu ya Rosululloh? Beliau menjawab, yaitu orang yang tidak mempunyai kekayaan yang bisa mencukupinya, namun dia tidak menampakkan kekurangan agar diberi sedekah dan tidak meminta sedikit pun kepada orang lain.” (H.R. Bukhori–Muslim)

Dalam Hadits yang lain dijelaskan sebagai berikut.


‘Anabiihurairotarodiyallohu’anhuqoola:qoolaanNabiyyu:laisalmiskiinulladzii taroduhultamrotu watamrotaani waluqmatu waluqmataani ,innamalmiskiinulladzii yata’affafu

“Abu Hurairoh berkata: Rosululloh bersabda: Bukannya seorang miskin itu yang tertolak dari satu dua suap makanan atau satu dua biji kurma. Sesungguhnya, orang miskin itu seorang yang sopan, segan meminta-minta.” (H.R. Bukhori–Muslim)


Hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa yang dikatakan miskin itu bukan peminta-minta, tetapi orang yang tidak memiliki harta, namun tetap sabar karena dia yakin cukup Alloh dan Rosul-Nya yang menjadi pelindung dirinya. Inilah kriteria miskin menurut Alloh dan berhak mendapat zakat juga sedekah. Hal termaktub dalam Q.S. 9: 60.

Menurut Al-Hadist yang diriwayatkan oleh Bukhori, zakat merupakan satu kewajiban.


‘An abii ‘abaasi rodiyallohu’anhu annanNabii ba’tsa mu’aadfan rodiyalloohu’anhu ilalyamani,faqoola: adhum ilaa syahaadati laailaaha illallooh wa annii Rosululloohi fainhum adlooghoilidzalika fa’limhum annallooha qodiftarodho khomsa sholaati fii kulla yaumi walailati fainhum adlooghuulidzalika annalloohaftarodho ‘alaihim shodaqota fii amwaalihim tuukhudu min aghniyaanihim watarodu falaifuqoro iihim.

“Diriwayatkan dari Abdulloh bin Abbas r.a. bahwa Nabi mengutus Mu’adz ke Yaman. Pesan beliau kepada Mu’adz ‘serulah mereka untuk bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Alloh dan aku adalah utusan Alloh. Jika mereka mematuhi hal itu maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Alloh mewajibkan kepada mereka sholat lima waktu dalam sehari semalam. Jika mereka mematuhi hal itu maka beritahukanlah kepada mereka Alloh mewajibkan kepada mereka untuk mengeluarkan zakat yang dipungut dari mereka yang kaya untuk dibagikan kepada yang faqir’.” (H.R. Bukhori)


Hadist ini menegaskan kepada kita bahwa di dalam harta yang telah kita dapatkan, ada hak orang lain. Jika hak orang lain itu tidak diberikan dengan kata lain harta kita tidak dibersihkan, harta tersebut masih dalam keadaan kotor dan harom untuk dipergunakan karena masih ada hak orang lain di dalamnya. Mengeluarkan zakat sama dengan membersihkan atau menghalalkan harta yang kita dapatkan.
Dengan merujuk pada hadits di atas, jelas dalam mengeluarkan zakat kita tidak sembarangan. Harus ada petugas yang mengumpulkan zakat tadi. Untuk itu, di sini diperlukan seorang imam yang bertugas membersihkan harta-harta yang kaya dan yang berpenghasilan untuk dibagikan kepada yang berhak, yaitu faqir miskin. Di sinilah berlaku sistem baitul-mall; di mana baitul mall itu ada dalam pengawasan seorang imam untuk membantu meringankan beban orang-orang yang beriman dari tekanan-tekanan perekonomian, apalagi kalau sampai bisa keluar dari kemiskinannya sehingga dia bukan mustahiq lagi, melainkan lahir sebagai muzaqqi atas bantuan dari baitul-mall tadi.

Kalau seandainya di dalam suatu negara dan dalam satu kepemimpinan ada amirul mukminin, tidak menutup kemungkinan negara akan subur makmur dan mungkin pembangunan dalam segala bidang tidak akan terganggu karena negara tersebut fokus pada tugasnya. Negara tidak akan terganggu oleh anggaran-anggaran untuk mengurus faqir miskin karena sudah diurus oleh amirul mukminin tadi. Dana yang akan terserap oleh baitul mall akan banyak diambil dari potensi-potensi yang ada dari kaum mukmin. Meskipun seorang pejabat atau petinggi negara, dia patuh dan taat kepada pemimpin agamanya sehingga dia akan ditagih dalam urusan zakatnya sehingga amirul mukminin tadi tidak banyak mengatur dan mengurus negara karena sudah dipercayakan kepada ahlinya. Dia cukup mengurus umat. Sementara, dana dari baitul mall tadi dipakai untuk menyejahterakan umatnya. Maka, tidak menutup kemungkinan Islam akan menguasai segala bidang dan tidak menutup kemungkinan negara tersebut akan maju serta berpotensi karena umat Islam yang ada di negaranya banyak menyumbang sumber daya manusia yang beriman dan bertakwa kepada Alloh dan Rosul-Nya. Mereka akan lebih takut kepada ancaman Alloh dan Rosul-Nya meskipun tidak ada keamanan. Maka, negara akan aman meskipun tidak ada hukum antikorupsi. Rakyat dan pemerintah negara itu tidak akan korupsi karena masing-masing menjaga dirinya dari pekerjaan-pekerjaan yang akan membuat mereka masuk ke dalam neraka.

Lalu, apa hukuman bagi orang-orang yang tidak mengeluarkan zakat? Simaklah ayat di bawah ini. (Q.S. 92: 8–10)



8. “Dan, ada pun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup
9. serta mendustakan terhadap kebaikan
10. maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.”


Ayat ini mempertegas kepada kita bahwa kalau kita bakhil atau kikir dengan tidak menafkahkan harta kita di jalan Alloh, kita akan menemukan jalan yang sukar. Kita akan sukar untuk masuk ke dalam syurga dan sukar untuk menemukan ketenangan dunia maupun akhirat kelak. Ini karena selamanya kita diperbudak oleh harta. Berkaitan dengan sifat huruf sin yang ada pada “Fasanuyassiru“, ini kelak tidak memerlukan waktu yang panjang, seperti jangan main api jika terbakar kelak akan panas. Kata kelak di sini tidak menunggu waktu yang lama. Jadi, kalau dikatakan “Kelak Kami siapkan jalan yang sukar.“ berarti jika kita tidak mengeluarkan hak-hak faqir miskin, yakni zakat, otomatis dia akan menemukan jalan yang sukar. Demikianlah hukuman bagi orang-orang yang tidak mau mengeluarkan zakat. Adapun menurut Al-Hadits sebagai berikut.


Wa ‘an jabiirin rodiyallohu’anhu: anna rosuululloohi, qoolaa: araquuzhulma fainnazhuzhulmatun yaumalqiyaamati, wattaquusyuhha ahlaka man kaana qoblakum hamalhum ‘alaa ansafaquu di wastahalluu muharrimahum

“Jabir r.a. berkata: Rosululloh bersabda: Jaga-jagalah dirimu daripada aniaya (dzolim) karena aniaya itu merupakan kegelapan di hari kiyamah. Dan, jaga-jagalah dirimu dari sifat kikir karena sifat kikir itu membinasakan umat–umat yang sebelum kalian, mendorong mereka mengadakan pertumpahan darah dan menghalalkan semua yang diharamkan oleh Alloh.” (H.R. Muslim)


Hadits ini melarang kita berlaku bakhil atau kikir. Perlakuan orang-orang yang agnia ( kaya ) kikir akan menimbulkan pertumpahan darah demi mendapatkan sesuap nasi. Juga dengan kikirnya, orang-orang kaya akan melahirkan banyak kejahatan di mana-mana. Maka, Alloh dan Rosul-Nya melarang orang-orang kaya berlaku kikir dan diwajibkan kepada orang-orang kaya untuk mengeluarkan zakat demi mencegah perbuatan-perbuatan kejahatan orang-orang miskin akibat kekikiran orang kaya.
Adapun cara kita membagikan zakat bukannya si-kaya menghinakan si-miskin dengan cara dikumpulkannya dilapangan sehingga si-kaya duduk di kursi dan si-miskin berdesak-desakan untuk mendapatkan rupiah dari si-kaya tadi,kalau demikian maka tampaklah jurang dan tampaklah kehinaan orang muslim tadi. Sedangkan Alloh dan Rosul-Nya memerintahkan kepada si-kaya untuk memberikan haq faqir miskin,jadi dengan perintah ini jelaslah bahwa di dalam harta si-kaya ada haq si-miskin maka kalau kita memberikan haq nya jelas kita harus memberikannya dengan cara memuliakan mereka bukan menghinakannya

Dalam sebuah riwayat seorang Amirul mu’minin rela memikul sekarung gandum untuk diberikan kepada seorang janda miskin,padahal kalau dia memanggilnya saja bisa apa lagi dia seorang amirul mu’minin dengan kekuasaannya dia bisa memangil siapa saja,tapi kenapa tidak dilakukan oleh beliau sebabnya adalah tugas beliau untuk mengurus si-miskin tadi dan Rosululloh selalu lebih dekat kepada simiskin dan beliau selalu memperhatikan si-miskin.

Akan tetapi orang kaya yang di-anugrahi kekayaan oleh Alloh malahan menyombongkan dirinya dengan cara mengumpulkan si-miskin tadi sehingga berkatalah dengan sombongnya bahwa dia sudah membagikan sekian juta untuk faqir miskin inilah kenyataan yang sering kita lihat.

Sekarang mari kita simak ( Qs. 18 : 32 – 38 ).



32. Dan Kami membuat perumpamaan bagi mereka, dua orang laki-laki Kami jadikan bagi seorang di antara keduanya dua buah kebun anggur dan kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma dan di antara dua kebun itu Kami buatkan ladang.
33. Kedua kebun tadi menghasilkan buahnya,dan kebun itu tiada kurang buahya sedikitpun,dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu.
34. Dan dia mempunyai kekayaan yang banyak, maka ia berkata kepada kawannya ketika ia bercakap-cakap dengannya “Hartaku lebih banyak dari pada harta-mu dan pengikut-pengikut-ku lebih kuat.
35. Dan dia memasuki kebunnya dengan ke-dzolimannya, ia berkata “ Aku kira kebun ini tidak akan binasa selamanya “.
36. Dan aku tidak yaqin hari kiamat itu akan dating, dan jika aku di-kembalikan kepada tuhanku,pasti aku akan mendapatkan tempat yang lebih baik dari ini.
37. Kawannya berkata sedang dalam percakapan. “ Apakah kamu kafir kepada tuhan yang menciptakan kamu,dari tanah,kemudian dari setetes air nutfah, kemudia Dia menjadikanmu seorang laki-laki yang sempurna.
38. Akan tetapi aku percaya Dia lah Alloh tuhan-ku dan aku tidak akan mempersekutukannya dengan apapun.

Ayat ini menggambarkan kepada kita antara si-kaya dan si-miskin bagai mana sombongnya si-kaya dengan mengatakan “Hartaku lebih banyak dari pada-mu” perkataan inilah yang sering terlontar dari mulut orang-orang kaya,dan mereka punya keyakinan bahwa harta mereka tidak akan habis dimakan oleh 7 turunan mereka dan merekapun dengan sombongnya mengumpulkan si-miskin dilapangan untuk di bagi zakat atu sodaqoh dan merekapun punya keyaqinan dengan cara demikian kalau seandainya dia meninggal akan mendapatkan yang lebih baik karena mereka sering membagi-bagi hartanya kepada faqirmiskin,kalau demikian seolah-olah syurga itu dapat di beli dengan harta mereka sekarang bagai mana nasib si-miskin apakah dia tidak akan mendapatkan syurga karena dia tidak berharta.? Padahal syurga tidak bisa di beli dengan harta tapi syurga akan di berikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal sholeh bukan kepada si-kaya atau si-miskin akan tetapi kepada siapa saja yang masuk pada criteria “ Iman dan amal sholeh “ syarat utama adalah jangan musyrik jika musyrik “Laayahbathonna amalukum“ Maka sia-sialah amal kalian kalau kita simak salah satu ayat ( Qs. 2 : 284 )


Kepunyaan Allohlah apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi.Dan jika kalian melahirkan apa-apa yang ada di dalam hati kalian atau kalian menyembunyikannya niscaya Alloh akan membuat perhitungan terhadap kalian tentang perbuatan kalian.Maka Alloh akan mengampuni kepada siapa saja yang menghendakinya atau akan menyiksa kepada siapa saja yang menghendakinya dan Alloh menentukan terhadap segala seuatu.

Dengan ayat ini menegaskan bahwa kalau kita ada rasa memiliki kekayaan atau merasa memiliki kemiskinan sehingga kalau dia tidak tercantum sebagai orang miskin akan marah-marah, inilah indikasi Musyrik, maka akan sia-sialah amal perbuatan yang telah kita lakukan.
Setelah mengeluarkan zakat, ada perintah-perintah lain berhubungan dengam harta, yaitu infaq. Perhatikan ayat berikut. (Q.S. 2: 254)



“Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Alloh) sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepada kalian sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa'at. Dan, orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim.”


Ayat ini menegaskan bahwa sesungguhnya di dalam harta yang sudah dizakati, ada perintah-perintah lain, yakni menginfakan di jalan Alloh. Maksudnya, membelanjakan harta di jalan Alloh. Cara kita mengeluarkan atau membelanjakan harta tersebut harus sesuai dengan apa-apa yang dikehendaki Alloh. Simaklah ayat berikut. (Q.S. 2: 195)



“Dan, belanjakanlah (harta benda kalian ) di jalan Alloh dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan dengan belanjaan kalian dan berbuat baiklah karena sesungguhnya Alloh menyukai orang-orang yang berbuat baik.”


Ayat tadi menegaskan bahwa dalam membelanjakan harta, kita tidak boleh berlebihan. Dalam ayat tadi, dikatakan (dengan perbuatan kalian). Jadi, yang termaktub dalam ayat tadi adalah janganlah kita binasa akibat hasil belanjaan kita sendiri. Sebagai contoh, kita membelanjakan harta secara berlebihan, yakni membeli barang-barang yang akhirnya untuk merawat barang tersebut kita menjadi kesusahan dan melupakan kewajiban-kewajiban yang lain sehingga kita jadi melalaikan yang lain. Perhatikan hadits berikut.


Wa’anmu’awwiyatabnihaidaturodiyallohu’anhu: qoola qultu: yaa Rosululloohi maa haqqo .aujati ahadinaa ‘alaihi.? Qoola: an tuth’imahaa idzaa tho’imta wataksuwuhaa idzaktasaitu, walaa tadhribilwajhu, walaa tahzur illaa filbaiti

“Mu’awwiyah bin Haidah bertanya: Yaa Rosululloh, apakah hak seorang istri terhadap suaminya? Jawab Nabi: Harus kauberi makan jika kau makan dan kauberi pakaian jika kau berpakaian dan janganlah memukul muka dan jangan menjelekkannya dan jangan memboikot kecuali dalam rumah.” (H.R. Abu Dawud)

Perhatikan pula hadits berikut.


Wa’an abii hurairota rodiyalloohu’anhu qoola: qoola rosuululloohi: akmalulmu-miniina imaanan ahsanahum khuluqon wahiyaarukum khiyaarukum linisaa-ihum.

“Abu Hurairoh r.a. berkata: Bersabda Rosululloh: Sesempurna-sempurna orang mukmin dalam imannya ialah yang terbaik budi pekertinya. Dan, sebaik-baiknya dari kalian ialah yang terbaik pergaulannya terhadap istrinya.” (H.R. Atitrmidzi)

Hadist ini menegaskan bahwa kesempurnaan iman bergantung pada kesempurnaan akhlak budi pekerti sebab iman tidak terpisah dengan budi pekerti. Iman yang tidak berbuahkan budi kebaikan tidak ada harganya di sisi Alloh. Bergaul baik dengan istri termasuk budi baik. Jadi, dua hadits ini menjelaskan kewajiban kita untuk memberikan nafkah kepada istri dan menyenangkan istri. Jadi, harta yang kita dapatkan bukan dipakai untuk bersenang-senang sendiri, melainkan dipakai untuk mencukupi kebutuhan anak dan istri. Ini merupakan bagian dari infak kita yang sesuai dengan aturan Alloh dan Rosul-Nya.

Setelah mencukupi keperluan anak dan istri, kita memiliki kewajiban lain dalam harta. Kewajiban tersebut tercantum dalam ayat berikut. (Q.S. 107: 1–3)



1. “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?
2. Itulah orang yang menghardik anak yatim
3. Dan tidak peduli terhadap makanan orang miskin.”


Ayat ini menegaskan kepada kita bahwa sesungguhnya kita diharuskan peduli terhadap orang miskin dengan memperhatikan makanannya. Kita juga diwajibkan merawat anak-anak yatim dengan harta yang kita dapatkan tadi. Lalu, siapa yang harus kita dahulukan? Anak yatim atau orang miskin? Perhatikan Al-Hadits berikut.


Wa’an abiihurairota rodiyalloohu’anhu qoolaa: qoola rosuululloohi: kaafilulyatiim lahu aulighoirihi ana wa huwa kamaa taini filjannati, wa asyaarorroowi wahuwa maalikubnu anasin bissabbaabati walwusthoo.

“Abu Hurairoh r.a. berkata: Rosululloh bersabda: Pengasuh anak yatim, baik kemenakannya sendiri atau anak orang lain, dengan Saya di syurga seperti ini, sambil menunjukkan jari telunjuk dan jari tengah. (H.R. Muslim)


Hadits ini menegaskan bahwa yang harus kita dahulukan adalah kerabat terdekat, yakni anak yatim dan orang miskin yang masih ada dalam lingkungan kita tersendiri. Kalau kita tidak mengurus kerabat terdekat terlebih dahulu, kalau mereka kafir karena kemiskinannya, kita sendiri yang akan bertangung jawab. Demikian yang termaktub dalam hadits di atas.

Pahala bagi orang-orang yang menfakahkan rezekinya di jalan Alloh sebagai berikut. (Q.S. 28: 54)


“Mereka itu diberi pahala dua kali disebabkan kesabaran mereka dan mereka menolak kejahatan dengan kebaikan dan sebagian dari apa yang telah Kami rezekikan kepada mereka, mereka nafkahkan.”
Ayat yang lain menjelaskan sebagai berikut. (Q.S. 2: 261)



“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Alloh adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Alloh melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang menghendaki karena Alloh yang meluaskan lagi memberi tahu.”

Kedua ayat ini membuktikan bahwa seandainya kita mengeluarkan harta sesuai dengan ketentuan Alloh, niscaya hal itu akan menghasilkan kebaikan yang berlipat ganda. Bila merujuk pada Q.S. 28: 54, bahwa akan mendapatkan pahala dua kali, dalam hal ini adalah pahala dunia dan pahala akhirat. Di dunia, akan dimudahkan segala urusan dan di akhirat kelak akan mendapatkan syurga yang telah dijanjikan-Nya.

Lalu bagaimana dengan orang-orang yang kikir? Perhatikan ayat berikut. (Q.S. 4: 37)



“(yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir dan menyembunyikan karunia Alloh yang telah diberikan-Nya kepada mereka. dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan.”

Ayat ini menegaskan bahwa orang-orang kikir divonis oleh Alloh sebagai orang kafir, sedangkan orang kafir akan mendapatkan siksaan yang menghinakan.

Kriteria kikir di sini adalah orang-orang yang tidak menfakahkan hartanya di jalan Alloh. Dia mempergunakan hartanya untuk memenuhi keinginan hawa napsunya saja. Kadang, mereka juga royal kepada orang-orang yang berada di sekelilingnya.

Contoh: Seorang penjahat loyal terhadap anggotanya. Dia dermawan juga menolong terhadap anggotanya. jika anggotanya mendapat kesulitan di bidang ekonomi. Oleh karena itu, dia disukai oleh kelompok dan anggotanya. Akhirnya, mereka rela mengorbankan jiwanya demi membela pemimpinnya. Mereka tidak mungkin bersikap demikian kalau yang dibelanya tidak royal dan tidak dermawan.

Contoh tadi menjelaskan bahwa dermawan di sisi Alloh bukanlah yang demikian. Dermawan di sisi Alloh adalah yang membelanjakan hartanya sesuai dengan apa-apa yang diridhoi Alloh.

Mari kita simak ayat di bawah ini. (Q.S. 9: 71–72)


71. “Dan, orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka memerintah dengan mengerti, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sholat, mendatangkan kebersihan, dan mereka taat pada Alloh dan Rosul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Alloh; Sesungguhnya Alloh memperkasakan lagi menghukumi.
72. Alloh menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) syurga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di syurga 'Adn. dan keridhoan Alloh adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.”


Ayat ini menerangkan bahwa dermawan menurut Alloh adalah orang-orang kaya yang mengeluarkan hartanya sesuai dengan apa-apa yang diperintahkan Alloh dan Rosul-Nya. Ayat ini juga menegaskan bahwa harus ada seseorang yang memerintah dan harus ada yang melarang. Dengan demikian, jelas di sini diperlukan satu ikatan yang sangat erat dalam konteks imam dan makmum. Harus ada seorang imam yang betul-betul sanggup memerintah untuk mengeluarkan zakat dan infaq untuk membantu orang-orang yang beriman lainnya yang membutuhkan. Hanya seorang imamlah yang natinya tahu bahwa makmumnya itu taat kepada Alloh dan Rosul-Nya atau tidak sebab kita tidak boleh sampai salah sasaran dalam mempergunakan harta yang telah Alloh rezekikan kepada kita.
Mengenai hal membelanjakan harta, perintah Alloh selalu diawali dengan “Nafkahkanlah sebagian rezeki kalian.“ Dengan kata ini, ada suatu makna yang tersurat bahwa kita tidak boleh menghabiskan harta kita. Nafkahkanlah sebagian harta kita dan simpanlah sebagian yang lain agar kita tidak jatuh miskin di kemudian hari. Kita juga membutuhkan uang simpanan untuk bekal anak-anak kita. Semua itu dilakukan agar kita tidak menjadi lemah karena kekurangan harta. Demikianlah apa yang tersirat dalam perintah tadi.

Demikianlah Alloh mengatur harta yang telah direzekikan kepada kita. Zakat, infaq, dan sebagainya bertujuan agar orang-orang yang beriman kepada Alloh dan Rosul-Nya saling tolong menolong demi kelancaran pelaksanaan program-program pengabdian kepada Alloh, demi terciptanya tali persatuan dan kesatuan sesama muslim, dan demi kokohnya persatuan tersebut yang didukung oleh kedermawanan si agniya. Ini bisa terjadi karena bimbingan dari para ulama sebagai pemimpin dan kesabaran si miskin. Dengan demikian, para ulama akan semakin fokus mengurus umat dalam urusan ukhrowi karena tidak terganggu oleh urusan-urusan maisyah sebagaimana yang tercantum dalam ayat berikut. (Q.S. 2: 273)



“(Berinfaqlah) kepada orang-orang faqir yang terikat (oleh jihad) di jalan Alloh; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan. apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Alloh) maka sesungguhnya Alloh mengetahui.”


Ayat ini menegaskan bahwa fuqoro adalah orang yang sudah terikat di jalan Alloh. Seorang imam (ulama) sudah terikat di jalan Alloh. Tugasnya adalah selalu memperhatikan makmum-makmumnya agar tidak keluar dari aturan-aturan Alloh. Inilah kandungan yang tersirat dari ayat ini. Jadi, seorang ulama ditugaskan Alloh untuk mengasuh umat agar tidak keluar dari jalan-Nya.

Kalau konsep ini berjalan, bukan tidak mungkin akan terbentuk satu kesatuan yang sangat kuat dan kokoh. Sementara, ulama sebagai seorang pemimpin dalam keagamaan mengasuh dan mengarahkan semua umat yang menyatakan dirinya sebagai manusia yang beriman kepada Alloh dan Rosul-Nya agar tidak salah langkah. Seorang ulama juga benar-benar menempatkan diri dalam keulamaannya, sedangkan seorang umaro menempatkan diri dalam ke-umaro-annya sehingga seorang umaro pun harus patuh dan taat kepada ulamanya. Seorang yang kaya juga harus patuh pada ulamanya dengan dukungan-dukungan hartanya. Seorang pengusaha atau yang lainnya harus mau diarahkan oleh seorang ulama agar tidak terjebak dalam langkah-langkah syaiton

Sementara, seorang yang miskin harus sabar dan mau diatur oleh seorang ulama agar tidak terjebak dengan kemiskinannya yang bisa mengakibatkan dia menjadi kafir. Yang pasti, Jika kontribusi zakat, infaq, sodaqoh, dalam satu titik, yang miskin tersebut akan menjadi seorang muzzaqi, bukan menjadi mustahiq lagi. Lambat laun, mustahiq akan hilang karena semua umat Islam bersatu pada satu kepemimpinan. Jika ada perbedaan di antara para ulama, janganlah perbedaan itu menjadi alat pemicu pertengkaran dan perpecahan. Perbedaan pendapat pasti akan ada akan, tetapi setiap ulama hendaknya mengurus umatnya masing-masing, jangan saling menyerobot, jangan saling mengakui aku yang paling baik sehingga ulama yang satu menjelekan ulama yang lain. Jika terjadi yang demikian, akan timbullah perpecahan di antara umat. Mari kita simak ayat berikut. (Q.S. 49: 13)


“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa–bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengerti. Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Alloh ialah orang yang paling takwa di antara kalian. Sesungguhnya, Alloh yang memberi tahu dan yang mengabari.”


Ayat ini menegaskan bahwa yang harus mengerti adalah kita, bukan mereka. Jadi, kalau ada perbedaan di antara kita, bukan mereka (yang berbeda) yang harus mengerti kita, tetapi kitalah yang harus mengerti mereka. Hendaknya seseorang tidak memberi dakwah kepada orang lain yang berbeda pendapatnya. Hendaknya setiap ulama mengurus rumah tangganya sendiri dan tidak mencampuri urusan rumah tangga orang lain. Maka, kalau demikian, Insya Alloh negara ini akan aman dan sejahtera.

Shaum (Puasa)












Shaum merupakan rukun Islam yang keempat dan harus dilaksanakan oleh umat Islam seperti tercantum dalam ayat di bawah ini. (Q.S. 2: 183)



“Hai orang-orang yang beriman, sudah ditentukan atas kalian berpuasa sebagaimana ditentukan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.”


Ayat ini menegaskan kepada kita bahwa puasa bukan hanya diperintahkan Alloh kepada kita, tapi juga kepada umat sebelum kita. Mereka juga melaksanakan puasa, seperti umat Nabi Ibrohim, Nabi Musa, sampai Umat Nabi Isa. Mereka diperintahkan untuk melaksanakan puasa agar tergolong ke dalam orang-orang yang takwa. Jadi, syarat untuk menjadi orang yang takwa (ta’at) adalah melakukan atau melaksanakan perintah shaum.

Dalam melaksanakan syaum, ada beberapa hal yang harus kita perhatikan dan harus kita patuhi. Aturan-aturan tersebut tercantum dalam ayat berikut. (Q.S. 2: 184)



“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka, barangsiapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan, wajib bagi orang-orang yang dimampukan (dalam rezekinya) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan maka itulah yang lebih baik baginya. Dan, berpuasa lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.”


Ayat ini menegaskan kepada kita bahwa dalam berpuasa terdapat aturan-aturan yang mutlaq yang harus dilaksanakan oleh orang-orang muslim, yaitu jika kita dalam keadaan sakit atau sedang dalam perjalanan sehingga kita madhorot, segeralah berbuka. Jangan memaksakan diri untuk shaum sehingga kita tersiksa dengan puasa tadi. Dengan catatan, madhorot di sini berarti sudah benar-benar tidak sanggup melaksanakan shaum. Kalau masih bisa dan tenaga kita masih kuat, hendaklah tetap shaum. Kata madhorot atau sakit jangan dijadikan alasan jika kita masih mampu.

Contoh: Si A sedang sakit dan kata dokter tidak boleh berpuasa. Maka, si A meniatkan dirinya untuk tidak puasa karena anjuran dokter. Ini salah karena keimanan kita tergadai oleh dokter dan kita berbuka bukan karena perintah Alloh, tetapi karena perintah dokter. Jadi, jangan ada niat untuk tidak berpuasa. Berpuasalah sebatas kemampuan. Jika memang madhorot, boleh berbuka. Ini perintah Alloh.


Dari contoh ini, jelaslah bahwa kalau kita berbuka karena perintah manusia, kita bisa dikatakan kafir karena kita berhenti puasa bukan karena Alloh, apalagi kalau kita berbuka karena hawa napsu. Ini merupakan satu kejahatan yang keras sebab kita mengabdi kepada hawa napsu, bukan kepada Alloh. Akan tetapi, memaksakan diri dengan menguat-nguatkan diri untuk terus berpuasa juga salah, apalagi jika puasanya kita akan mengakibatkan penyakit kita semakin parah. Ini bukan baik, melainkan dzolim karena sudah ada rukhsoh dari Alloh kita harus melaksanakannya.

Dalam Al-Hadits dijelaskan sebagai berikut.


‘An jabiiribni abdillaahi rodiyalloohu’anhumaa , qoola: kaana Rosululloohi fii safarin, faro-a rojulan qodijtama’annaasu ‘alaihi,wa qod dlulla ‘alaihi, faqoola: maa lahu.? Qooluu: rojulun shoo-imun. Faqoola: laisalbirro antasuumuu fissafarin.

“Diriwayatkan dari Jabir bin Abdulloh r.a. ia berkata: Dalam suatu perjalanan jauh, Rosululloh telah melihat seorang yang dikerumuni banyak orang dan diberi naungan/dipayungi lalu Rosululloh bertanya: Mengapa dia? Orang-orang menjawab: Dia berpuasa. Maka, Rosululloh bersabda: Tidaklah termasuk baik jika kalian berpuasa dalam perjalanan (jauh dan melelahkan).” (H.R. Bukhori–Muslim)


Dengan merujuk pada hadits ini, tidaklah dikatakan baik kalau kita berpuasa dengan cara memaksakan diri saat dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan jauh dan melelahkan.

Jadi, aturan yang pertama adalah menahan lapar dan dahaga. Sebelum menahan lapar dan dahaga, ada perintah lain, yaitu makan sahur seperti yang tercantum dalam Al-Hadits berikut.


‘Annasi rodiyalloohu’anhu, qoola: qoola rosuululloohi: tasahhuruu !! fainna fisahuruu barokatan.

“Diriwayatkan dari Annas r.a. ia berkata: Rosululloh bersabda: Sahurlah karena di dalam sahur itu ada barokah.” (H.R. Bukhori–Muslim)

Hadits ini menandakan bahwa kita diharuskan makan sahur. Kita tidak boleh tidak sahur karena ini merupakan perintah dari Rosul dan harus kita patuhi. Jangan mentang-mentang kuat, kita tidak makan sahur. Jadi, kalau kita melaksanakan puasa tanpa makan sahur, sama saja kita menolak perintah Rosul. Akhirnya, mungkin sia-sia puasa kita. Perhatikan Hadits di bawah ini.


‘An zaidibnitsabiti rodiyalloohu’anhu, qoola: tashurnaa ma’a Rosululloohi, tsumma qumnaa ilashsholaati qultu: kam kaana qodrumaa baina humaa/? Qoola: khomsina ayatan.

“Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit r.a. ia berkata: Kami pernah maka sahur bersama Rosululloh kemudian kami bersiap untuk melakukan sholat, aku bertanya, “Berapa kira-kira waktu antara sahur dan sholat?“ Jawabnya: Kira-kira selama bacaan 50 ayat.” (H.R. Bukhori-Muslim)


Hadits ini mengisyaratkan bahwa Rosululoh selalu mengakhirkan makan sahur. Jadi, kalau mengakhirkan makan sahur, kita termasuk melaksanakan sunah Rosul. Sementara, tidak makan sahur tidak dicontohkan oleh Rosululloh.

Perintah selanjutnya adalah berbuka pada waktu yang telah ditentukan, yaitu setelah matahari terbenam. Waktu matahari terbenam adalah tepat pada waktu maghrib. Simaklah hadits berikut.


‘An sahlibni sa’di rodiyalloohu’anhumaa, anna Rosululloohi qoola: laa yazaalunnaasu bikhoirin maa ‘ajalulfithro.

“Diriwayatkan dari Sahl bin sa’ad r.a., bahwasannya Rosululloh pernah bersabda: Orang-orang itu senantiasa berada dalam kebaikan selama menyegerakan berbuka. (H.R. Bukhori–Muslim)


Hadits ini mengingatkan kepada kita bahwa setelah waktu berbuka datang, segerakanlah berbuka, yaitu dengan cara membatalkan puasa. Setelah itu, laksanakanlah sholat Magrib. Jadi, berbuka di sini bukan makan dan minum, tetapi membatalkan dahulu puasanya, mungkin dengan hanya meminum seteguk air. Maka, dia sudah dikatakan berbuka. Setelah itu, laksanakanlah sholat Magrib.
Dalam Q.S. 2: 184, ada kata ” “ asal katanya adalah - - yang berarti bukan tidak sanggup, tapi orang-orang yang diberi kemampuan (rezeki) harus mengeluarkan fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.
Mari kita simak dulu sepotong ayat dari (Qs 2 : 249)



"Tak ada kesanggupan kami pada hari Ini untuk melawan Jalut dan tentaranya."



Ayat lain dalam (Qs : 2 – 276)



Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya
Di sana ada kata yang berarti apa-apa yang tidak sanggup atau tak mampu .Jadi dalam bulan Romadhon, ada sodaqoh yang diberi nama fidyah. Ini merupakan satu kewajiban bagi orang-orang yang berkemampuan lebih dalam hal harta. Dalam ayat selanjutnya, dikatakan, “Barangsiapa dengan suka rela mengerjakan kebajikan“. Yang dimaksud kebajikan di sini adalah mengeluarklan sodaqoh dengan sukarela, tidak harus dipinta. Kebajikan tadi akan menolong orang-orang miskin supaya tidak terganggu puasanya dengan tidak memiliki makanan untuk berbuka sehingga dia susah payah bekerja di siang hari dan mereka tidak melaksanakan puasa karena kepayahan dalam bekerja. Di sinilah perlunya saling menolong antara si kaya dengan si miskin agar mereka menjalankan puasanya dengan leluasa dan tidak merasa kepayahan akibat bekerja di siang hari. Mari kita simak ayat berikutnya di bawah ini. (Q.S. 2: 185)



“(beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhon, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barang siapa di antara kalian menyaksikan masuknya bulan itu maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Alloh menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian. Dan, hendaklah kalian menyempurnakan bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Alloh atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian supaya kalian bersyukur.”


Dalam ayat ini, ada keterangan “di bulan Romadhon, bulan di mana di dalamnya diturunkan Al-Qur’an“. Lalu, timbul pertanyaan, apakah Al-Qur’an diturunkan hanya sekali oleh Jibril kepada Nabi Muhammad? Apakah sekarang tidak diturunkan lagi? Makna diturunkan bukan satu kitab jatuh dari langit akan tetapi diajarkan, Dulu, Jibril mengajarkannya kepada Nabi Muhammad. Sekarang, bertepatan dengan bulan Romadhon, waktu diturunkan Al-Qur’an, adalah bahasa yang asal katanya dari artinya belajar. Maka, malam-malam pada bulan Romadhon harus diisi dengan belajar Al-Qur’an. Di sini, belajar bukan hanya membaca, tetapi mempelajari Al-Qur’an, yaitu menggali segala yang ada dalam Al-Qur’an supaya dapat dimengerti. Lalu, untuk melaksanakannya, diperlukan keberadaan seorang ulama untuk membimbing dan menjelaskan juga mengajarkan ketentuan-ketentuan Alloh yang ada dalam Al-Qur’an tadi.

Dalam melaksanakan kegiatan belajar dan mengajar Al-Qur’an, diperlukan dukungan-dukungan materi agar yang mengajar dan yang diajar tenang serta khusuk dalam melaksanakan programnya karena sudah tidak perlu lagi memikirkan makanan untuk berbuka dan sahur. Inilah manfaat shodaqoh yang diwajibkan kepada orang-orang yang diberi kelebihan harta. Hendaknya mereka mendukung dalam segi materi agar bulan Romadhon sebulan penuh diisi dengan kegiatan belajar mengajar. Maka, bulan Romadhon pun bisa diartikan bulan tarbiyah, yaitu bulan pendidikan. Selain itu, diperlukan juga seorang ulama sebagai pemimpin dalam suatu majelis. Mereka diperlukan untuk menarik shodaqoh sebelum bulan Romadhon, bukan sesudah Romadhon karena program tersebut berada di malam-malam Romadhon. Ini dilakukan agar ulama (imam) mampu membebaskan umatnya yang kekurangan dalam harta sehingga sedikitnya mereka terbantu selama satu bulan di bulan itu dan tidak alpa dalam belajar karena kekurangan biaya.

Kalau program ini terlaksana, alangkah indahnya sebab selama sebulan penuh orang-orang muslim mempelajari apa-apa yang tertera dalam Al-Qur’an dan melaksanakannya. Sungguh, bulan Romadhon itu akan menghasilkan manusia-manusia yang tangguh dan manusia-manusia yang kuat keimanannya juga tidak mudah dibohongi karena mereka mengetahui yang diperintahkan Alloh dan yang tidak, yang dicontohkan Rosul dan yang tidak. Maka, hari raya tepat disebut hari kemenangan karena mereka mendapatkan ilmu yang sangat banyak di bulan Romadhon.

Di dalam bulan Rhomadon pun ada perintah melaksanakan sholat qiyamulail atau biasa disebut sholat tarawih. Kapan sholat ini dilaksanakan? Perhatikan hadits berikut.


‘An abii huroirota rodiyallohu’anhu, qoola: kaana Rosululloohi yargobu fii qiyaami romadhoona, min dghoiri an ya-murohum fiihi bi’aziimati, faqoola: man qooma romadhoona iimaanan wahtisaaban ghufiro lahu maa taqoddama mindzan bihi,fatuwaffaa Rosululloohi,walamru ‘alaa dzaalika. Tsumma kaanalamru ‘alaa dzaalika fii kholifatibni bakri,washodroo min khilaafati ‘umaro rodiyalloohu’anhumaa ‘alaa dzaalika.

“Diriwayatkan dari Abu hurairoh r.a., ia berkata: Rosululloh pernah menganjurkan sholat di malam bulan Romadhon tanpa memerintahkannya secara tegas, Beliau bersabda: ‘Barangsiapa bangun untuk sholat di malam bulan Romadhon karena iman dan mencari ridho Alloh maka diampuni dosanya yang telah berlalu.’. Kemudian, Rosululloh wafat, sedangkan perintah itu tetap seperti demikian. Kemudian, pada masa pemerintahan Abu Bakar r.a. juga tetap seperti itu, demikian pula pada awal masa pemerintahan Umar r.a.” HR. Bokhori


Hadits ini menegaskan bahwa sholat di malam bulan Romadhon merupakan perintah Rosululloh dan Beliau menjanjikan barangsiapa bangun dan sholat di malam bulan Romadhon diampuni dosa-dosa yang telah berlalu. Ini kesempatan paling besar di bulan Romadhon. Oleh karena itu, perintah ini harus kita laksanakan selama bulan Romadhon. Adapun ketepatan waktu sholat tersebut diterangkan dalam hadits berikut.


‘Anaisuaata rodiyalloohu’anhaa,anna Rosululloohi, khoroja min jaufillaili, fashollaa filmasjidi, fashollaa rijalunbisholaatihi, faasbahannaasu yatahaddatsuuna dzaalika ,fajtama’a aktsaru minhum, fakhorojaa rosuululloohi fii lailatitstsaaliyaati, fasholuu bisholaatihi, faasbahannaasu yadkuruuna dzaalika, fakatsaro ahlulmasjidi minallailati tstsaalitsaati, fakhoroja, fasholuu bisholaatihi, falamma kaanatillailaturroobi’atu, ‘azajalmasjidu ‘an ahlihi,falam yakhruj ilaihim rosuululloohi, fathofiqo vijalun minhum yaquuluuna, Ashsholaata, falam yakhruj ilaihim rosuululloohi, hattaa khoroja lisholaatilfajri, falammaa qodhoo sholaatalfajri, aqbala ‘alannaasi, tsumma tasyhada, faqoolaa, amma ba’du, fainnahu lam yakhfa ‘alaa sya-nukumullailata, walakinna khoosyiitu an tufrodo ‘alaikum sholaatullaili fata’jizuu ‘anhaa. Wa fii riwaayati: wa dzaalika fii romadhoona.

“Diriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwasannya Rosululloh keluar di tengah malam (pada awal Romadhon) lalu sholat di masjid. Maka, orang-orang turut sholat bersama beliau. Paginya orang-orang membicarakan hal tersebut. Maka, orang-orang berkumpul (di masjid) lebih banyak kemudian Rosululloh keluar ke masjid pada malam kedua itu lalu mereka sholat bersama Beliau. Esok paginya, orang-orang menuturkan hal itu sehingga pada malam yang ketiga, banyak sekali orang-orang yang dating (ke masjid) kemudian mereka sholat bersama Beliau. Ketika tiba pada malam keempat, orang-orang tidak termuat di masjid karena sangat banyak, namun Rosululloh tidak keluar sampai ada beberapa orang mulai berseru “sholat“, namun Rosullulloh masih saja tidak keluar kepada mereka sehingga beliau baru keluar untuk sholat subuh. Setelah sholat subuh, Beliau menghadap kepada para jamaah lalu mengucapkan syahadat kemudian bersabda: “Aku tahu apa yang kalian lakukan tadi malam, tetapi aku khawatir kalau sholat di malam Rhomadhon itu diwajibkan kepada kalian yang akhirnya kalian tidak mampu melaksanakannya’. Menurut riwayat lain, hal ini terjadi pada bulan Romadhon.” (H.R. Bukhori-Muslim)


Hadits ini menegaskan bahwa waktu pelaksanaan sholat qiyamulail di bulan Romadhon adalah hampir memasuki tengah malam karena yang dimaksud sholat malam adalah sholat pada setengah malam, dua pertiga malam, atau sepertiga malam. Inilah ketentuan Rosul dalam melaksanakan tarawih. Adapun jumlah rokaat yang dilaksanakan Rosul saat menjadi imam adalah rokaat yang sedikit, sedangkan kalau sendiri beliau mempergunakan rokaat yang banyak. demikian juga dalam perkataan “takut dianggap wajib hingga memberatkan dan tidak bisa melaksanakan“ berarti diwajibkan untuk selalu berjamaah. Jadi, sholat tarawih bisa dilakukan sendiri. Demikian yang termaktub dalam hadits tadi.

Pelaksanaan puasa Romadhon tidak boleh mendahului aturan waktu yang telah ditentukan Alloh. Dengan kata lain, hendaknya kita tidak melakukan puasa sebelum tanggal masuknya bulan Romadhon sebagaimana tercantum dalam hadits berikut.


‘An abii hurairota rodiyalloohu’anhu qoola: qoola Rosululloohi: laa taqoddamu romadhoona bi shaumi yaumi wa laa yaumaini,illaa rojulun kaana yashuumu shauman falyashumhu

“Diriwayatkan dari Abu Hurairoh r.a., ia berkata: Rosululloh bersabda: Janganlah kalian mendahului Romadhon dengan berpuasa satu atau dua hari, kecuali orang yang memang sudah terbiasa melakukan puasa tertentu, maka berpuasalah.” (H.R. Bukhori – Muslim)

Hadits ini menerangkan kepada kita bahwa sebelum masuk bulan Romadhon, hendaknya kita tidak berpuasa Romadhon terlebih dahulu, yaitu puasa di akhir Sya’ban. Namun, seandainya puasa yang dilakukan adalah puasa bulan Sya’ban maka lakukanlah. Menurut riwayat, Rosululloh selalu melaksanakan shaum di bulan Sya’ban hampir sebulan penuh. Rosul mengakhirkan puasa sya’bannya.

Penentuan awal bulan Romadhon atau penanggalan Romadhon pasti akan berbeda-beda, bergantung pada dasar yang kita pakai untuk menentukannya. Ada yang memakai rukyat, ada yang memakai hisab. Yang penting, kita meyakini bahwa yang kita lakukan sesuai dengan aturan-aturan Alloh. Sebelumnya mari kita pelajari tentang penanggalan dan peredaran bulan.

Sejarah tentang penanggalan

Sebelum kedatangan Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad, masyarakat Arab memakai kalender Lunisolar,yaitu kalender Lunar yang disesuaikan dengan matahari.Tahun baru ( Ra’sa as-sanah= kepala tahun ) selalu berlangsung setelah berakhirnya musim panas sekitar September.

Bulan pertama dinami dengan muharom,sebab pada bulan itu semua suku atau kabilah di semenanjung Arabia sepakat untuk mengharomkan peperangan,pada bulan Oktober,daun-daun menguning sehingga bulan itu dinamai syafar “ Kuning “ bulan November dan Desember pada musim gugur (Rabi ) berturut-turut dinamai Rabi’ul awwal dan Rabi’ul akhir,Januari dan Februari adalah musim dingin (jumad atau beku) sehingga dinamai Jumadil awwal dan Jumadil Akhir,kemudian salju mencair pada bulan Maret sehingga dinamai Rojab bulan April di musim semi merupakan bulan Sya’ban ( Syib = lembah ) saat turun ke lembah-lembah untuk mengolah tanah pertanian atau menggembala ternak,pada bulan Mei,suhu mulai membakar kulit,lalu suhu meningkat pada bulan juni itulah bulan Romadhon “ pembakaran “ dan Syawwal “peningkatan” bulan Juli merupakan puncak musim panas yang membuat orang lebih senang istirahan duduk-duduk di rumahnya dari pada bepergian sehingga bulan itu dinamai Dzul qo’idah ( Qo’id = duduk ) akhirnya pada bulan Agustus dinamai Dzul Hijjah,sebab pada bulan itu masyarakar Arab menunaikan haji mengikuti ajaran nenek moyang mereka Nabi Ibrohim.

Setiap bulan diawali saat munculnya Hilal,berselang-seling 30 dan 29 hari sehingga 354 hari setahun, 11 hari lebih cepat dari kalender solar yang setahunnya 365 hari.Agar kembali sesuai dengan perjalan matahari dan agar tahun baru selalu jatuh pada awal musim gugur,maka dalam setiap periode 19 tahun ada 7 buah tahun yang jumlah bulannya 13 ( satu tahunnya 384 hari ).Bulan interkalasi atau bulan extra ini dinamai dengan Nasy yang ditambahkan pada akhir tahun setelah Dzul Hijjah.

Ternyata tidak semua kabilah di semanjung Arabia sepakt mengenai tahun-tahun mana saja yang mempunyai bulan Nasy masing-masing kabilah seenaknya saja menentukan bahwa tahun yang satu 13 bulan dan tahun yang lain cuma 12 bulan,lebih celakanya lagi jika suatu kaum memerangi kaum yang lainnya pada bulan Muharom (bulan terlarang untuk berperang) dengan alas an itu dalam bulan Nasy,belum masuk Muharom menurut kalender mereka akibatnya dengan bulan interkalasi ini banyak menimbulkan permusuhan di kalangan masyarakat Arab.

Setelah masyarakan memeluk Agama Islam dan bersatu di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad,maka turunlah perintah Alloh agar umat Islam memakai kalender Lunar secara murni dan menghilangkan bulan Nasy hal ini tercantum dalam Al-qur’an Qs 9 ( 36 – 37 )


36. Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kalian menganiaya diri kalian dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kalian semuanya, dan Ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.
37. Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan Haram itu adalah menambah kekafiran. disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mempersesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya, Maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (syaitan) menjadikan mereka memandang baik perbuatan mereka yang buruk itu. dan Allah tidak memberi hidayah kepada orang-orang yang kafir.

Dengan turunnya wahyu tersebut maka Nabi Muhammad menurunkan dekrit bahwa kalender Islam tidak tergantung pada perjalanan matahari,meskipun nama-nama bulan dari Muharom sampai Dzul hijjah tetap digunakan karena sudah populer pamakaiannya,bulan-bulan tersebut bergeser setiap tahun dari musim ke musim,sehingga Romadhon (Pembakaran) tidak selalu pada musim panas dan Jumadil awwal (beku pertama) tidak selalu pada musim dingin.

Mengapa harus kalender lunar murni?. Hal ini disebabkan agama Islam bukanlah hanya untuk masyarakat Arab di timur tengah saja,melainkan untuk seluruh umat manusia di barbagai penjuru bumi yang letak geografis dan musimnya berbeda-beda,sangatlah tidak adil jika misalnya Romadhon (bulan di mana ada perintah syaum) ditetapkan menurut sistem kalender solar atau lunisolar, sebab hal ini mengakibatkan masyarakat Islam di suatu kawasan berpuasa selalu di musim panas atau di musim dingin.Sebaliknya,dengan memakai kalender lunar yang murni,masyarakat Kazakhstan atau umat Islam yang ada di London berpuasa 18 jam di musim panas, tetapi berbuka puasa jam 4 sore di musim dingin,umat Islam yang menunaikan ibadah haji pada suatu saaat merasakan teriknya matahari Arofah di musim panas dan merasakan sejuknya udara Makah pada musim dingin.

Pada masa Nabi Muhammad, penyebutan Tahun berdasarkan suatu peristiwa yang di anggap penting pada tahun tersebut. Misalnya Nabi Muhammad lahir Tanggal 12 Robiul awwa tahun gajah,sebab pada tahun itu pasukan gajah Abrohah dan Yaman berniat untuk meruntuhkan Ka’bah.

Ketika Nabi Muhammad wafat tahun 632,kekuasaan Islam baru meliputi semenanjung Arabia tetapi pada masa Khaolifah Umat bin khotob ( 634 – 644 ) kekuasaan Islam meluas dari Mesir sampai Persia. Pada tahun 636, Gubernur Irak Abu Musa al-As’arei berkirim surat kepada Kholifah Umar di Madinah,yang isinya antara lain “Surat-surat kita memiliki tanggal dan bulan,tetapi tidak beranggka tahun, sudah saatnya umat Islam membuat tarikh sendiri dalam perhitungan Tahun“.

Kholifah Umar bin Khotob menyetujui usul gubernurnya.Terbentuklah panitia yang di ketuai oleh Kholifah Umar sendiri dengan anggota enam sahabat Nabi terkemuka, yaitu Utsman bin Affan,Ali bin Abutholib, Abdurahman bin Auf,Sa’an bin Abi waqqas,Talhah bin Ubaidillah,dan Zubair bin Awwam.Mereka bermusyawarah untuk menentukan Tahun satu dari kalender yang selama ini digunakan tanpa anggka tahun, ada yang mengusulkan dari tahun kelahiran Nabi (571 M) dan ada pula yang mengusulkan tahun turunnnya wahyu Alloh yang pertama (610 M) .Tetapi akhirnya yang disepakti panitia adalah usulnya Ali bin Abutholib,yaitu tahun berhijrahnya kaum Muslim dari makah ke Madinah (622 M).

Maka, Kholifah Umar bin Khotob mengeluarkan keputusan bahwa tahun hijrah Nabi adalah Tahun Satu,dan sejak saat itu kalender Umat Islam disebut Tarikh Hijriyah. Tanggal 1 Muharom 1 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 16 Juli 622 M.Tahun keluarnya keputusan Kholifah langsung ditetapkan sebagai tahun ke-17 Hijriyah.

Kalender Hijriyah setiap tahun 11 hari lebih cepat dari kalender Masehi,sehingga selisih angka tahun dari kedua kalender ini lambat laun makin mengecil.Angka tahun Hijriyah pelan-pelan mengejar angka tahun Masehi dan menurut rumus di atas keduanya akan bertemu pada Tahun 20526 Masehi yang bertepatan dengan tahun 20526 Hijriyah.

Hisab dan Rukyat

Rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal,yang diamati penampakan bulan sabit yang pertama kali tampak setelah bulan baru (Ijtima).Rukyat bisa dilakukan dengan mata telanjang atau dengan alat Bantu optik seperti teleskop,apa bila hilal terlihat maka pada petang tersebut telah memasuki tanggal 1.Sedang hisab adalah alat bantu melakukan perhitungan untuk menentukan posisi bulan secara matematis dan astronomis.Hisab seringkali dilakukan untuk membantu sebelum merukyat,penentuan awal bulan menjadi sangat signifikan,untuk bulan-bulan yang berkaitan dengan Ibadah.

Penentuan kapan hilal dapat terlihat, menjadi motovasi ketertarikan umat Islam dalam Astronomi. Ini menjadi salah satu pendorong mengapa Islam menjadi salah satu pengembang awal ilmu astronomi sebagai Sains. Lepas dari Astrologi pada Abad pertengahan,sebagian umat Islam berpendapat bahwa untuk menentukan awal bulan,adalah harus benar-benar melakukan pengamatan hilal secara langsung (Rukyatul hilal).Sebagian yang lain berpendapat bahwa penentuan awal bulan cukup dengan melakukan Hisab (perhitungan matematis) tanpa harus benar-benr mengamati Hilal.Methode hisab juga memiliki berbagai criteria penentuan, sehingga seringkali menyebabkan perbedaan penentuan awal bulan,yang berakibat adanya perbedaan hari melaksanakan ibadah seperti Romadhon atau Hari raya Iedul fitri demikian juga dalam bulan untuk melaksanakn Hajji dan hari raya Iedul adha.Sedangkan perputaran bulan mengelilingi bumi dalam satu bulan adalah 29 hari 12 jam 33 menit 44 detik, jadi dikatakan satu bulan itu 29 hari lebih dan 30 hari kurang.

Kalender Hijriyyah
No Nama Umur
1 Muharom 30
2 Syafar 29
3 Robi’ul Awwal 30
4 Robi’ul Tsani 29
5 Jumadil Awwal 30
6 Jumadil Akhir 29
7 Rojab 30
8 Sya’ban 29
9 Romadhon 30
10 Syawwal 29
11 Dzulqoidah 30
12 Dzulhijjah 29 atau 30

Keterangan: Dalam bulan Dzulhijjah 30 hari jika Tahun kabisat.

Kalender Jawa

Pergantian Tahun hijriyah dan tahun jawa hampir selalu bersamaan, hal ini dipehami karena sejak 370 tahun lalu kalender jawa mengadopsi system penanggalan Hijriah yang berdasarkan pergerakan bulan mengelilingi bumi.

Awalnya, hingga tahun 1633 M masyarakat jawa menggunakan system penanggalan berdasarkan pergerakan matahari,penanggalan matahari dikenal sebagai Saka Hindu Jawa,meskipun konsep tahun Saka sendiri bermula dari sebuah kerajaan di India.

Tahun Saka hindu 1555 bertepatan dengan tahun 1633 M,Raja Mataram Srisultan Agung Prabu Hanyokrokusumo mengganti konsep dasar system penanggalan Matahari menjadi system Bulan,perubahan system penanggalan dapat di baca dalam buku primbon Adji Caka Manak Pawukon 1000 Taun yang di tulis dalam bahasa jawa.
Dari naskah tersebut diketahui bahwa Sri Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo mengubah sistem penanggalan yang digunakan,dari sistem Samsiyah (matahari) menjadi Komariyyah (Bulan). Perubahan penanggalan berlaku untuk seluruh Pulau jawa dan Madura kecuali Banten, karena tidak termasuk daerah Mataram.

Perubahan sistem penanggalan dilakukan hari Jum’at Legi,saat penggantian tahun baru Sakka 1555 Yang ketika itu bertepatan dengan tahun baru hijriah tanggal 1 Muharom 1043 H dan 8 Juli 1633 M. Penggantian sistem penangalan tidak mengganti hitungan Tahun saka 1555 yang sedang berjalan menjadi tahun 1, melainkan meneruskan hitungannya tahuntersebut hingga saat ini.

Selain mengubah sistem penanggalan ada penyesuaian-penyesuaian seperti nama bulan dan hari,yang semula menggunakan bahasa Sansekerta menjadi bahasa Arab,hal ini menunjukan kuatnya pengaruh penanggalan Islam dalam penanggalan Jawa.

Perbedaan Kalender


Meskipun kalender Hijriah dan kalender Jawa dasar penanggalanya sama yaitu perputaran bulan,kalender Jawa bukan kalender hijriah.Meski mengadopsi dasar perhitungan kalender Hijriah,kalender jawa tidak mengikuti aturan penanggalannya.Kalender Jawa lebih tepat di sebut sebagai penggabungan unsur Jawa dan penanggalan Hijriah.

Konsep hari pasaran yang terdiri dari lima hari yakni Kliwon, Legi (Manis), Pahing, Pon, Wage merupakan wujud unsur-unsur Jawa tidak ditemui dalam penanggalan Hijriah dan Masehi. Siklus delapan tahun yang disebut Windu juga merupakan konsep penanggalan khas jawa. Nama tahun dalam penanggalan jawa mengikuti siklus Windu terdiri dari Alif, Ha, Jim awwal, Jay, Dal,Ba, Wawu, dan Jim akhir.

Secara Astronomis,kalender jawa tergolong Mathematical calendar,sedangkan kalender Hijriah astronomical calendar, Mathematical calendar merupakan sistem penanggalan yang perhitungannnya mathematika dari fenomena alam.Kalender Masehi juga merupakan mathematical calendar, sedangkan Astronomical calendar berdasarkan fenomena alam seperti kalender Hijriah dan kalender Cina. Sifatnya yang pasti sebagai Mathematical calendar membuat penanggalan jawa tidak mengalami sengketa dalam penentuan awal bulan seperti penanggalan Hijriah.
Sumber : Hendro setyanto (Asisten di Observstorium bosscha).

Nama-nama Lambang,Windu,Tahun, dan Bulan Jawa.
Lambang

No Nama Lambang Umur Tahun
1 Kelawu 8
2 Langkir 8
Jumlah 16

Windu

No Nama Windu Umur Tahun
1 Adi 8
2 Kuntara 8
3 Sengara 8
4 Sancaya 8
Jumlah 32




Tahun

No Nama Tahun Umur tahun
1 Alif 354
2 Ha 355
3 Jim awwal 354
4 Jay 355
5 Dal 354
6 Ba 354
7 Wawu 354
8 Jim akhir 355
Jumlah 2835


Bulan

No Nama Bulan Tahun Dal
1 Sura 30
2 Sapar 29
3 Mulud 30
4 Ba’da Mulud 29
5 Jumadil Awwal 30
6 Jumadil Akhir 29
7 Rejeb 30
8 Ruwah 29
9 Pasa 30
10 Sawwal 29
11 Sela 30
12 Besar 29 / 30
Jumlah Normal 354
Jumlah Kabisat 355

Rumusan

Bulan Naktu Balung Tahun Naktu Balung
Muharom 7 5 Alif 1 5
Shafar 2 5 Ha 5 9
Robiul Awwal 3 4 Jim Aw 3 4
RAbiul Akhir 5 4 Zay 7 3
Jumadil Awwal 6 3 Dal 4 2
Jumadil Akhir 1 3 Ba 2 7
Rojab 2 2 Wawu 6 1
Sya’ban 4 2 Jim Ak 3 5
Romadhon 5 1
Syawwal 7 1
Dzulqoidah 1 5
Dzulhijjah 3 5

Kalau kita perhatikan dari putaran bulan yang jumlah harinya dalam satu bulan itu tidak sempurna yakni 29 hari lebih dan 30 hari kurang tepatnya adalah 29 hari 12 jam 44 menit menurut synodic period (fase) maka untuk ketepatan perhitungan di pergunakan rumus secara mathematical agar penambahan dan pengurangannya tidak jauh maka cara menentukannya sebagai berikut untuk menentukan tahun dengan cara jumlah tahun dibagi dengan windu.

Contoh tahun 1430 : 8 maka akan ada sisa 6 sisa tadi dihitung dari tahun wawu . ( Wawu , Jim akhir, Alif, Ha,Jim awwal,Jay ) Jadi pada tahun 1430 jatuh pada tahun Jay.

Untuk menentukan tanggal satu misalkan Romadhon yakni dengan cara menjumlahkan Naktu tahun dan Naktu bulan.Naktu tahun Jay 7 sedangkan Romadhon Naktunya 5 maka : 7 + 5 = 11 Dihitung dari hari rabu Maka jatuhnya pada hari Munggu ( Ahad ) untk menentukan pasarannya dihitung dengan cara menjumlahkan balung bulan dan balung tahun Balung Tahun Zay adalah 3 dan Balung bulan Romadhon adalah 1 jadi 3 + 1 = 4 Dihitung dari Kliwon ( Kliwon,manis,Pahing,Pon ) Jadi tanggal 1 Romadhon Tahun Zay jatuh pada Hari Ahad Pon. Untuk membuktikan kebenarannya secara fisik yakni kita lihat pada tanggal 13 Bulan akan muncul duluan di sebelah timur sebelum matahari terbenam 14 Jika Matahari tenggelam maka Bulan akan muncul di sebelah timur dengan bentuk bulat ( Purnama ) tanggal 15 Bulan akan muncul agak lama setelah matahari terbenam di sebelah barat



Fase peredaran Bulan Mengelilingi Bumi




Bulan adalah tetangga bumi yang terdekat dalam Antariksa, Bulan juga benda paling cemerlang dalam langit malam, bukan karena terdiri dari gas menyala sepeerti matahari,melainkan karena memantulkan cahaya matahari.
Pada beberapa malam bulan berupa bla sempurna yang bercahaya,sedangkan pada malam lainnya hanya berupa sepotong perak. Namun demikian bentuk dan ukuran bulan tak berubah,yang berubah hanyalah penampakannya,sepadan dengan bertambah dan berkurangnya permukaan bulan yang disinari matahari,perubahan penampakan bulan disebut Fase.
Tatkala bulan berada di antara bumi dan matahari,sisinya yang gelap menghadap ke bumi,sehingga bulan tidak tampak.fase gelap bulan ini dinamakan bulan muda,seperti tampak dalam gambar ini

1 2 3 4 5 6


Keterangan: 1 Fase pertama di sebut bulan sabit, fase ke-2 umur bulan sudah lima hari, fase ke-3 Umur bulan sesudah satu pekan, fase ke-4 Umur bulan sesudah 10 hari, fase ke-5 bulan sesudah 13 hari, fase ke-6 bulan purnama .

Segera setelah bulan muda, bulan sabit yang mirip benang terlihat di langit barat sesudah mata hari tenggelam, sabit menjadi semakin lebar hari demi hari hingga menjadi bulan sempurna, bulan dikatakan mengembang apa bila ukurannya nampak bertambah besar,fase ini di sebut pecan pertam,kira-kira tujuh hari sesudah pecan pertama atau 14 hari sesudah bulan muda,bulan telah berpindah ke suatu titik,sehinggabumi terletak diantara bulan dan matahari,seluruh sisi bulan yang diterangi matahari menjadi nampak, fase ini dinamakan bulan purnama,bulan purnama ini tepat berlawanan dengan bulan muda,bulan terbit pada langit sore di timur sekitar matahari terbenam dan tenggelam di barat sekitar matahari terbit

Sesudah bulan purnam,bulan mulai menyusutmelewati tahap bulan separuh,yang di sebut pekat terakhir,dan akhirnya kembali fasa bulan muda,bulan separuh yang bertambah besar di sebut bulan separuh yang sedang mengembang,bulan yang menciut di sebut bulan separuh yang lagi menciut.
Bulan memerlukan 29 hari 12 jam 44 menit untuk menamatkan satu peredaran mengelilingi bumi,bulan berjalan bersama bumi selama bumi mengedari matahari,namun sewaktu terbit dan tenggelam gerakannya seolah-olah dari timur ke barat,karena putaran bumi lebih cepat dari pada peredaran bulan mengelilingi bumi
Sumber http.@peredaranbulan.yahoo.co.id

Kita kembali lagi pada masalah shaum.Pada dasarnya, Alloh memerintahkan, “Barangsiapa di antara kalian menyaksikan masuknya bulan maka puasalah dia.” Jadi, berdasarkan ayat ini, yang boleh melaksanakan puasa adalah orang yang menyaksikan masuknya bulan bukan karena mendengar atau diberi tahu oleh orang lain. Oleh karena itu, jelaslah bahwa penentuan awal puasa akan berbeda-beda, bergantung majelis atau imam yang mengajarkan perhitungan. Namun, masalah ini tidak selayaknya dipertentangkan dan diperselisihkan karena keyakinan orang akan berbeda-beda. Jika yakin dengan rukyat, pakailah rukyatnya dengan tekun dan penuh keyakinan. Jika yakin dengan hisab, pakailah hisab dengan tekun dan penuh keyakinan. Hendaknya kita tidak merasa paling benar sehingga menganggap orang lain salah. Jangan pula kita memaksa orang lain untuk mengikuti keyakinan yang kita pegang sementara mereka pun memiliki keyakinan yang mereka pegang dan mereka anggap benar. Simaklah ayat di bawah ini. (Q.S. 6: 159–160)



159. “Sesungguhnya, orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya, urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah. Kemudian, Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.
160. Barangsiapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan, melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan).”

Ayat ini menegaskan kepada kita bahwa sesungguhnya kita tidak ada urusan dengan pengabdian orang lain sebab masalah pengabdian merupakan urusan kita masing-masing dengan Alloh. Oleh karena itu, hendaknya kita menyelesaikan urusan kita masing-masing dengan Alloh karena yang akan menilai dan memberitahu yang benar dan yang salah adalah Alloh, bukan kita. Jadi, masalah perbedaan pendapat dalam pengabdian satu sama lain tidak ada urusan. Kita masing-masing tidak saling menanggung kebaikan atau kesalahan. Yang akan menanggung beban dan kesalahan adalah yang melaksanakan urusan tadi.

Demikianlah cara memulai shaum. Yang akan menilai salah dan benar hanyalah Alloh. Kita hanya berusaha mengikuti petunjuk-petunjuk dan contoh-contoh dari Rosul. Maka, di sini jelas kita memerlukan seorang imam untuk menenangkan umat agar tidak saling menjelekan kelompok yang lain karena umat itu bergantung pada ulamanya (imam). Seorang imam tidak boleh mengajari umatnya agar taqlid buta, yang berarti umat tunduk patuh pada ulama sementara dia tidak memakai ilmu. Kalau seorang ulama menggunakan rukyat, ia akan mengajari umatnya menggunakan rukyat. Kalau seorang ulama memakai, ia akan mengajari umatnya untuk bisa menghisab sendiri. Jadi, hendaknya antara imam dan makmum berjalan, bukan karena ikut-ikutan. Makmum bukan mengikuti imamnya, tetapi mengikutinya dengan ilmu yang diajarkan oleh imamnya.

Dalam bulan Romadhon, juga ada perintah lain selain menahan lapar dan dahaga, mengeluarkan shodaqoh bagi yang mampu, melaksanakan qiyamulail, dan belajar serta mengajar Al-Qur’an, yaitu i’tikaf sebagaimana yang tercantum pada ayat di bawah ini. (Q.S. 2: 187)




“Dihalalkan bagi kalian pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kalian; mereka adalah pakaian bagi kalian dan kalian pun adalah pakaian bagi mereka. Alloh mengetahui bahwa kalian tidak dapat menahan napsumu. Oleh karena itu, Alloh mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian. Maka, sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Alloh untuk kalian dan makan minumlah hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian, sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kalian campuri mereka itu, sedang kalian beri’tikaf dalam masjid. Itulah larangan Alloh maka janganlah kalian mendekatinya. Demikianlah Alloh menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka bertakwa.”


I’tikaf berarti duduk. Kalau kita menyimak ayat yang pertama, dikatakan, “Alloh akan mengampuni kalian dan Alloh memaafkan kalian.“ Ini berarti kalau kita mampu menjalankan i’tikaf, kita tidak boleh menggauli istri kita selama kita melaksanakan puasa. Kalimat terakhir, “Janganlah kalian campuri mereka, sedangkan kalian i’tikaf di dalam masjid.“ Jadi, jika hendak beri’tikaf, kita tidak boleh bercampur dengan istri kita selama melaksanakan shaum sebulan penuh.

Di sini, kata “masjid“ jangan hanya diterjamahkan dzorof makan saja, tetapi terjamahkan dengan dzorof zaman, yang berarti waktu sujud kita kepada Alloh. Sementara, waktu sujud kita kepada Alloh selama bulan Romadhon adalah sebulan penuh.

I’tikaf bukan hanya duduk di masjid, tapi duduk pada aturan-aturan Alloh selama satu bulan. Di sini, penulis menetapkan bahwa umur bulan Romadhon itu 30 hari karena berdasarkan Dan, sempurnakanlah bilangannya. Ini yang menjadi landasan hukum bahwa umur Romadhon itu 30 hari.
Kita lanjutkan pembicaraan tadi. Yang dimaksud dengan duduk dalam aturan adalah selama melaksanakan puasa, pada siang hari kita shaum dan malam hari kita melaksanakan qiyamulail serta kegiatan belajar dan mengajar. Jelas, selama satu bulan penuh kita tidak menyempatkan diri untuk mencampuri istri kita. Seorang istri pun melaksanakan programnya sebagai istri, yaitu menyediakan makanan untuk berbuka dan sahur juga menyediakan makanan untuk program-program tadi sebagaimana hadits berikut.

عَنْ عَئِثَةَرَضِيَ اللهُ عَنْهَاقًَالَتْ:كَانَ رَسُوْلُ اللهِ,اِذَدَخَلَ الْعَشْرَ,اَحْيَااللَّيْلَةَوَأَيْقَظَ اَهْلَهُ,وَجَدَّ,وَشَدَّالْمِئْزَرَ

‘An ‘Aisata rodiyallohuanhaa qoolat:kaana rosululloohi, idzaa dakholal’asro, ahyallailata waaiqodho ahlahu, wajadda, wasyaddalmizaro

Diriwayatkan dari Aisah r.a,Ia berkata: Apabila telah tiba 10 hari yang akhir Rosululloh,berjaga / tidak tidur pada malam hari untuk beribadah, beliau membangunkan keluarganya,dan beliau bersunggu-sungguh serta mengencangkan ikat pinggangnya ( tidak menggauli istri-istrinya ) untuk lebih mendekat kepada Alloh ( H.R Bukhori – Muslim )

Hadits ini menegaskan kepada kita bahwa sesungguhnya Rosululloh melaksanakan peribadahan selama bulan Romadhon sepanjang malam dari mulai malam pertama. Hal ini terbukti dengan perkataan “memasuki sepuluh malam terakhir, Beliau mengencangkan ikat pinggangnya dan membangunkan keluarganya.“ Perkataan ini merupakan kebijakan dari Rosul kalau dibangunkan dari mulai malam pertama dan diharuskan untuk beri’tikaf sejak malam pertama, dikhawatirkan kita tidak akan sanggup. Maka, Rosul memerintahkannya pada sepuluh malam terakhir agar keluarganya mengikuti jejaknya. Ini juga merupakan satu perintah kepada kita. Kalau sanggup beri’tikaf dari malam pertama, laksanakanlah dari malam pertama. Kalau tidak sanggup, laksanakanlah kebijakan tadi, yaitu sepuluh malam terakhir agar kita mendapatkan nilai i’tikaf. Hadits ini pun membuktikan bahwa bulan Romadhon itu berjumlah 30 hari.

Perintah terakhir setelah melaksanakan puasa yaitu membayar zakat fitroh. Zakat ini diharuskan atau diwajibkan kepada orang-orang muslim tanpa kecuali seperti tercantum dalam Al-Hadits berikut.

عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ عُمَرَرَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا,اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ,فَرَضَ زَكَاةَالْفِطْرِمِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ:صَاعًامِنْ تَمْرِأَوْ صَاعًامِنْ سَعِيْرِ,عَلَى كُلُ حُرٌأَوْ عَبْدِ,ذَكَرِأَوْأُنْثَى,مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ

‘An abdillaahibni ‘umaro ridiyalloohu’anhumaa, anna Rosululloohi: farodho zakaatalfithri min romadhoona ‘alannaasi: shoo’an min tamri,au shoo’an min sya’iri, ‘alaa kullu hurrun au abdi,dzakari au unsaa minalmuslimiina.

“Diriwayatkan dari abdulloh bin ‘Umar r.a. bahwasannya Rosululloh telah mewajibkan zakat fitroh di bulan Romadhon kepada kaum muslimin berupa satu sha (satu gantang = 4 mud) kurma atau satu sha gandum atas setiap orang merdeka maupun budak, laki-laki maupun perempuan.” (H.R. Muslim)


Hadits ini menegaskan bahwa sesungguhnya zakat fitroh ini diwajibkan kepada setiap muslimin dan muslimat. Mengenai hal ini, hadits lain pun menjelaskan sebagai berikut.
عَنِ عَبْدُاللهِ بْنِ عُمَرَرَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ:فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ زَكَاةَالْفِطْرِ,صَاعًامِنْ تَمْرِأَوْصَاعًامِنْ شَعِيْرِ,عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرُ,وَالذَّكَرِ,وَالْأُنْثَى,وَالصَّغِيْرِ,وَالْكَبِيْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ, وَأَمْرُبِهَااَنْ تُؤَدَّى خُرُجِ النَّاسِ اِلَى الصَّلاَةِ

‘An ِAbdullohibni ‘umaaro rodiyallohu ‘anhumaa qoola: farodho Rosululloohi zakaatalfithri,shoo’an min tamrin au shoo’an min syaa’irin ‘alal’abdi walhurro, wadzdzakaro wal unsaa, washogiiri walkabiiri minalmuslimiina, wa amro bihaa antuwadda qobla khurujinnaasi ilashsholaati.

“Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a. berkata: Rosululloh telah mewajibkan zakat fitroh kepada setiap muslim, masing-masing satu sha kurma atau satu sha gandum (makanan pokok) baik orang merdeka atau budak, laki-laki atau perempuan, kecil maupun besar. Rosululloh memerintahkan zakat fitroh pembayarannya sebelum orang-orang keluar menghadiri sholat hari raya.” (H.R. Bukhori)


Hadits ini lebih menegaskan bahwa membayar zakat fitroh diwajibkan kepada setiap umat Islam meskipun dia masih anak-anak. jika bapak ibunya muslim, anak tersebut wajib mengeluarkan zakat fitroh. Demikian yang termaktub dalam hadits ini.

Jadi, dalam bulan Romadhon, bukan hanya terdapat perintah menahan lapar dan dahaga saja, tapi ada perintah-perintah lain yang harus kita laksanakan sebagai umat muslim supaya selama satu bulan penuh kita dididik dan saat keluar dari bulan Romadhon kita termasuk orang-orang yang takwa, yakni taat kepada Alloh dan kepada Rosul-Nya. Diharapkan, hasil pendidikan selama sebulan penuh tersebut bisa diapikasikan di bulan-bulan berikutnya. Seseorang yang hartanya lebih, kedermawannnya jangan hanya dalam bulan Romadhon, tapi juga di bulan-bulan berikutnya. Seseorang yang berkelebihan ilmu, diharapkan terus membina umat di bulan-bulan berikutnya. Seseorang yang kekurangan ilmu diharapkan terus mempelajari dan mengaplikasikan hasil belajarnya di bulan bulan berikutnya. Sifat berjamaah dan saling tolong menolong selama bulan romadhon pun hendaknya diteruskan pada bulan-bulan berikutnya.

Contoh: Seorang sopir angkot berjamaah saling tolong menolong ketika di garasi. Kadang-kadang rokok pun dibagi dan kalau ada mobil temannya yang rusak, mereka saling membantu. Akan tetapi, ketika di jalan mereka berebut, saling mendahului untuk mencari penumpang. Kadang-kadang, kalau mobil temannya mogok di jalan, dia tega nya mengambil penumpangnya. Begitulah supir angkot.


Apakah kita akan seperti itu? Ketika bulan Romadhon selalu berjamah, saling tolong menolong, dan jika orang lain salah kita memaafkannya karena sedang puasa. Akan tetapi, ketika beres berpuasa, akankah kita seperti supir angkot tadi, kembali pada sifat asli, sombong, keluh kesah, dan saling mencaci? Kalau seorang kyai saling berebut umat, menjelekan kelompok yang lain untuk merebut umat, saling hujat, bukan saling mengisi dan memperbaiki, sia-sialah amalan shaumnya dan malah akan membuatnya masuk neraka jahannam. Hendaknya apa yang kita lakukan sebulan penuh, mendalami Al-Qur’an dan menggali sunah nabi diaplikasikan dalam perbuatan di bulan-bulan setelahnya. Perhatikanlah ayat berikut. (Q.S. 2: 44)


“Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kalian melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kalian membaca Al Kitab? Maka, tidaklah kalian berpikir?”

Ayat ini menegaskan kepada kita bahwa sebelum menyuruh orang lain melaksanakan kebaikan, hendaknya kita mengerjakan kebaikan itu terlebih dahulu sehingga orang lain akan tertarik dan mengikuti kita karena akhlak yang baik, bukan dengan ajakan, bukan dengan cara kita menerangkan ayat-ayat Alloh, sementara kita sendiri tidak melaksanakan apa-apa yang ada dalam Al-Qur’an. Sesungguhnya, manusia harus saling menolong. Alloh tidak menyukai perpecahan dan tidak menghedaki kita merusak di muka bumi ini. Namun, kadang kita sendiri yang menjadi provokator pemecah belah. Kita sendiri yang menjadi provokator perusak di muka bumi ini. Inilah yang dimaksud dengan perkataan “sedangkan kalian membaca kitab, apakah kalian tidak berpikir?“ Ini sindiran yang sangat pedas dari Alloh bagi orang-orang yang mengerti, tapi tidak melaksanakan pengetahuannya dalam perilaku sehari-hari.

Jadi, pada dasarnya, Al-Qur’an bukan untuk mengurus orang lain, tetapi untuk memperbaiki akhlak orang-orang muslim agar baik sehingga perilaku orang beriman berbeda dengan perilaku orang kafir dalam segala hal baik dalam urusan rumah tangga maupun dalam urusan bertetangga. Orang muslim selalu menciptakan suasana tenang dan damai.